Judul Novel : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan I : September 2015
Tebal buku : 400+vi
Harga : Rp. 71.500,-
“Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang.”
Aku menutup halaman terakhir novel yang beberapa waktu lalu memaksa diriku membawanya ke meja kasir sebuah toko buku. Setelah berdiri di depan rak tempatnya berjejer bersama buku-buku lain, membaca kalimat-kalimat testimoni pada cover belakang dari empat pembaca yang setahuku hasil sayembara, akhirnya aku harus merelakan lembar rupiah milikku berpindah tangan untuk bisa memilikinya. Aku hendak memastikan cerita yang tersembunyi dari enam huruf yang dipilih penulis sebagai judulnya. Setelah tuntas di halaman keempat ratus ini, akan kuceritakan bagaimana kata pulang mewakili perjalanan hidup seseorang.
****
Namanya Bujang, tokoh utama yang diceritakan sebagai seorang anak laki-laki yang hidup di pelosok Sumatera selama lima belas tahun bersama kedua orang tua yang kerap berselisih paham urusan pendidikan agama. Membuat mamaknya memutuskan untuk mengajarinya agama secara sembunyi-sembunyi. Jika ketahuan bapak, akan ada percakapan tentang masa lalu keduanya yang tak pernah ia mengerti tapi bisa ia rasakan. Terungkap dalam nada bicara bapak yang meninggi atau tersirat dalam isak tangis mamak.
Sampai pada suatu hari, sekelompok pemburu datang mengunjungi rumahnya dan mengaku sebagai saudara angkat bapak. Itulah momentum awal Bujang meninggalkan kampung, membangun masa depan, juga mengungkap masa lalu kedua orang tuanya.
Pasca mengalahkan dua ekor babi hutan yang lebih pantas disebut monster, Bujang paham bahwa ia sudah tak memiliki rasa takut. Itulah kata kunci untuk semua kesuksesan yang ia peroleh bertahun-tahun setelahnya.
Adalah Tauke Besar, pemimpin utama keluarga Tong. Salah satu keluarga yang menjalankan bisnis dalam dunia shadow economy. Taukelah orang yang menjemput Bujang dari tanah kelahirannya, juga orang yang mengaku sebagai saudara angkat Bapak. Pada awalnya, Tauke hanya berniat menyekolahkan Bujang setinggi-tingginya sebagai balas budi masa lalunya pada bapak. Namun darah tukang pukul dalam diri Bujang tak bisa disembunyikan, kuat dan tak punya rasa takut. Setelah rewel minta diberi tugas seperti tukang pukul lainnya, juga melewati ritual amok, akhirnya Bujang diizinkan berlatih fisik bersama guru-guru terbaiknya. Dari Kopong, Guru Bushi, hingga Salonga, Bujang akhirnya mampu menguasai berbagai kemampuan berkelahi, bermain pedang, juga menembak.
Sementara itu, dengan kemampuan intelegensinya yang jenius, Bujang menyelesaikan sekolahnya hingga gelar master. Tak tanggung-tanggung, dua gelar master sekaligus, keduanya diperoleh dari Universitas luar negeri.
Meski memperoleh izin berlatih fisik bersama guru-guru terbaiknya, Bujang tak pernah merasakan menghabisi musuh-musuh nyata seperti yang dilakukan tukang pukul lain. Karena Tauke tak pernah memberinya kesempatan untuk ikut berbagai penyerangan. Namun, di suatu kondisi yang mengancam keselamatan dirinya dan Tauke, seperti ketika keduanya terjebak kebuasan dua ekor monster babi hutan, saat itulah Bujang resmi menjalankan tugas pertamanya sebagai tukang pukul. Ketika itu pula gelar 'Si Babi Hutan' disematkan padanya, tukang jagal nomor satu keluarga Tong.
Dalam keluarga Tong, Bujang mengenal seorang anak seusianya bernama Basyir. Basyir keturunan Arab, pandai berkelahi, juga gemar bercerita. Cerita-cerita Basyirlah yang membuat Bujang ingin merasakan sensasi bertarung yang sesungguhnya. Baginya, Basyir adalah sahabat baik. Orang pertama yang mengajarinya tentang kesetiaan pada keluarga melalui pepatah suku Bedouin yang selalu ia banggakan: “I against my brother, my brother and I against my cousins, then my cousins and I against stranger”. Namun Bujang tak pernah menyangka bahwa keluarga yang Basyir maksud bukanlah keluarga Tong. Berkali-kali Tauke mengingatkan bahwa dalam keluarga selalu mungkin adanya penghianatan, tak pernah terpikirkan dalam otaknya jika penghianatan itu bisa dilakukan oleh Basyir. Persis ketika perekonomian keluarga Tong berada pada puncaknya dan Bujang telah dipilih menjadi pemimpin selanjutnya, dengan rencana yang begitu matang, Basyir mengadakan serangan tiba-tiba. Bujang kewalahan. Meski bukan ia yang menjadi target utamanya, namun prinsip kesetiaan membuatnya berjuang melindungi Tauke mati-matian. Pada akhirnya, kematian bukan sesuatu yang bisa dihindari. Dan kematian pula yang memberitahu Bujang bahwa ia masih memiliki rasa takut. Setelah kematian mamak, bapak, hingga Tauke, Bujang tahu persis rasanya kehilangan. Itulah ketakutan terbesar yang ternyata muncul dari dirinya setelah berpuluh-puluh tahun tersembunyi dan membuatnya menjadi begitu pemberani. Rasa takutlah yang akhirnya membawa Bujang pulang.
****
Tentang praduga pembaca sebelum novelnya berada dalam genggaman…
Bermula memperoleh kabar penerbitannya dari akun facebook sang penulis, Tere Liye, sebuah judul baru beserta cover bukunya berhasil memikat si pembaca- yang mengaku fans berat penulis- untuk segera membeli. Kata Pulang dan desain cover matahari terbit menyeret mental peramalku menebak-nebak jalan cerita yang akan disuguhkan Tere Liye dalam novel ini- yang saat itu belum kumiliki. Sebagai pembaca yang baru membaca beberapa tulisan Tere Liye, dugaanku novel Pulang ini akan sebaper novel ‘Sunset Bersama Rossie’, atau sereligius nan sensitifnya novel ‘Rindu’. Ternyata keliru. Novel ini boleh dibilang novel action. Akrab dengan penyerangan, senjata, pertumpahan darah. Meski tetap saja, pada bagian tertentu, dengan diksinya yang selalu filosofis, Tere Liye tetap mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya.
Tentang Praduga Pembaca sebelum mengkhatamkan halaman terkhirnya…
“Jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut.”
Kalimat pembuka dalam novel ini membuat seorang pembaca dengan tipikal ‘suka menebak’ sepertiku mengira bahwa novel ini melulu tentang memeluk rasa takut seperti yang selalu dikatakan Tere Liye dalam novel-novelnya tentang memeluk erat rasa sakit atau kesedihan untuk sebuah kedamaian. Kalimat pembuka yang membuatku mengira novel ini tentang perjalanan hidup seseorang yang penuh ketakutan. Ternyata (lagi-lagi) keliru. Novel ini tentang keberanian. Keberanian yang justru mengantarkannya pada rasa takut- yang ternyata masih ada di dalam dirinya.
Memasuki bab ketiga: Shadow economy, mulai lagi membuatku menebak inti cerita novel ini. Kali ini tentang genre. Dalam bab yang menceritakan tentang pertemuan Bujang dan wakil presiden pada masa kampanye untuk menuntut sebuah perjanjian bahwa pemerintah tak boleh mengusik aktivitas dunia shadow economy, kupikir Tere Liye sedang menulis novel politik pemerintahan. Ternyata tidak. Bagian ini hanya untuk menggambarkan kekuatan tokoh Bujang dalam cerita. Serta menegaskan bahwa kekuatan pelaku-pelaku kegiatan shadow economy sudah sampai ke pemerintahan dan militer. Selebihnya, murni tentang persaingan bisnis dan pertumpahan darah.
****
Pulang: tentang pentingnya sekolah, janji, dan kesetiaan…
“Masa depan keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi. Masa depan keluarga ini ada di tangan orang yang pintar…” – hal 55.
Novel ini bergenre action. Namun dalam penulisannya, seorang Tere Liye tidak hanya fokus bercerita tentang konflik pertarungan. Melalui kemarahan Tauke saat Bujang bosan belajar dan ingin menjadi tukang pukul, pembaca diberitahu tentang pentingnya sekolah. Seseorang dengan kemampuan fisik sehebat apa pun, bisa membunuh dan ditakuti siapa pun, tak akan pernah memperoleh penghormatan layaknya orang-orang berpendidikan. Mereka mungkin ditakuti, tapi tidak dihormati. Mereka bisa menaklukan orang-orang, namun mereka tak akan menjadi lebih besar karenanya. Sekolah selalu penting. Begitu salah satu pesan dalam novel ini. Menyimak cerita Bujang yang menuntaskan pendidikan hingga dua gelar masternya juga popularitas kehebatan yang diperoleh sebagai feedbacknya, pembaca dibuat tergugah untuk terus sekolah dan bercita-cita.
Sekarang tentang janji. Meski sepanjang membaca kalimat demi kalimat dalam novel ini pembaca disuguhi konflik-konflik antar keluarga bisnis, senjata-senjata mematikan, pembunuhan, penyerangan, apapun yang menuntut perasaan tegang membayangkan berada dalam situasi yang disajikan, Tere Liye tetap seorang penulis yang selalu mahir menyelipkan nilai-nilai kehidupan. Melalui perjalanan hidup seorang Bujang yang menolak tuak dan daging babi, Tere Liye berusaha memberitahu pembaca bagaimana seharusnya memegang teguh sebuah janji serta mengajarkan bahwa janji yang terus dipegang akan menjadi prinsip hidup. Bujang tidak diceritakan sebagai sosok yang taat pada islam. Tapi karena janjinya pada mamak, ia mampu menolak berbagai tawaran untuk minum tuak ataupun makan daging babi yang akrab sekali dengan dunia yang ia pijaki. Hingga orang-orang sekitar memakluminya sebagai prinsip hidup seorang Bujang yang tak boleh diganggu.
“Bahwa kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain” - hal 187.
“Hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya” - hal 207.
Dua quote yang disajikan rapih oleh Tere liye dalam situasi yang sangat tepat ini benar-benar menyampaikan makna kesetiaan yang dalam bagi pembacanya. Menyadarkan pembaca bahwa sangat keliru meletakkan kesetiaan pada seseorang ataupun golongan. Karena kesetiaan yang demikian, berpotensi membuat seseorang melanggar prinsip kebenaran, menghalalkan segala cara untuk membela yang belum tentu benar. Melalui perlawanan Bujang tehadap penghianatan Basyir, Tere Liye menceritakan dengan baik bahwa kesetiaan kita pada prinsip yang kita pegang akan mampu memanggil kesetiaan sejati lainnya.
****
Bicara diksi, struktur kalimat, entahlah, pun mungkin ada kesalahan ejaan atau typo, kurasa semua pembaca novel Tere Liye sepakat: kami tak peduli, terlanjur terhipnotis, tenggelam dalam alur cerita yang dibangun. Sesekali bahkan tertusuk dengan kalimat-kalimatnya yang seolah-olah menyindir padahal mungkin efek baper. Tapi memang demikian ciri khas si penulis. Semacam ada efek samping usai membaca tulisannya. Ide sederhana, lumrah, pasaran, selalu berhasil dikemas dengan bahasanya yang selalu ngena. Itulah mengapa aku termasuk abai dalam mengoreksi ejaan.
Oh ya, Tere Liye dalam novel ini seolah-olah menunjukkan identitas dirinya. Dengan latar belakang pendidikan sebagai mahasiswa fakultas ekonomi, Tere liye benar-benar berhasil mengenalkan pembaca sepertiku situasi shadow economy. Pasar gelap, premanisme, cuci uang, semua suasananya benar-benar terwakili oleh diksi yang beliau pilih. Selain itu, kepiawaian Tere Liye meramu kata untuk membangun situasi penuh konflik berhasil membuatku berimajinasi bahkan terbawa mimpi. Ini serius. Usai membaca cerita Bujang menghabisi Tuan Lin dengan shuriken berwujud kartu, dalam bab penyerbuan kasino, aku tak sengaja tertidur dan bermimpi menjadi sosok Bujang menghadapi situasi itu. Saat terbangun, aku mengakui satu hal: Kalimat Tere Liye benar-benar luar biasa hingga aku mampu membangun ceritanya dalam mimpi.
****
Entah ketaksengajaan atau memang demikian…
Selama proses menyelesaikan halaman akhirnya, satu-satunya keanehan yang berhasil kutemukan ada pada bab kelima: Amok. aku mengulang dengan hati-hati bab itu. sama sekali tidak menemukan korelasi judul bab dengan isinya. bahkan aku meneliti kata perkata barangkali ada kata ‘amok’ yang disebutkan di sana. Nyatanya, tidak sama sekali. Memerhatikan setiap bab yang ditulis dengan dua setting waktu yang berbeda, selalu ada korelasi antara judul bab dengan salah satunya. Pengecualian pada bab lima. Menurutku, semacam ketertinggalan. Ada cuplikan cerita pada bab enam yang seharusnya diletakkan pada bab kelima untuk membuat judul dan isinya jadi lebih nyambung, yakni cerita tentang Bujang yang bertarung dalam ritual amok. Namun, entah, mungkin sang penulis punya maksud tersendiri.
****
Recommended…
Inti dari semua uraianku tentang novel ini hanya satu: Rekomendasi. Sepanjang dan sebagus apa pun resensi yang kutulis, tak akan pernah setara dengan kepuasanmu membaca kisahnya langsung. Jadi, setelah sampai pada paragraf ini, jangan ragu lagi, segera baca novelnya. Selamat berkenalan dengan Bujang dan tokoh lainnya. Pesanku, jangan membacanya sebelum tidur jika tidak siap dibuat deg-degan jika kemudian kamu tertidur dan dalam mimpimu kamu menjadi Bujang. Terlibat dalam berbagai pertarungan akibat kepiawaian penulis menggambarkan situasinya. Selamat membaca. Selamat menempuh perjalanan pulang :)
****
good job
BalasHapusTerima kasih. Akhirnya mampir :D
Hapus