Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Takdir Saja, Bagaimana?

Baiklah... Cerita kita sudah selesai pada kalimat saling melepaskan. Apapun lelucon tentang pernikahan, akan kulupakan. Kalaupun sempat berharap sesegera itu. Kalaupun sempat kalah memperturutkan perasaan itu. Kalaupun pernah kalut sama rindu semendesak itu. Nyatanya tidak pernah ada kata 'sekarang' untuk mewujudkannya, kan? Aku tidak ingin kita terjebak dengan kata nanti.

MANEKEN: OBSESI DAN SISI KEMANUSIAAN YANG MATI

Judul Novel : Maneken Penulis        : Sengaji Munkian Penerbit      : Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit) Cetakan I    : September 2015 Tebal buku  : x+181 halaman “Apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan dan diri kita? Apakah itu kesempurnaan? Jika memang begitu, buru-burulah kau merenung, barangkali itu menjadi obsesi butamu. Ketahuilah, bahwa hal tersebut tidak akan secara sungguh tercapai. Tidak ada kesempurnaan absolut yang dihasilkan homo sapiens – sekalipun homo sapiens modern, yakni kita! – kesempurnaan yang ada hanyalah puing-puing usaha paripurna yang patut dibanggakan sekadarnya, tak boleh lebih.”- hal 179 Kalimat pembuka dalam resensi ini kukutip dari bab epilog yang tak lain adalah bagian closing dari novel ini. Aku menyebut kutipan itu sebagai pesan inti yang dimaksudkan penulis akan sampai kepada pembacanya. Sekaligus merupakan inspirasi untuk memberi judul pada resensi ini. Menutup halaman terakhir adalah pencapaian terpenting bagi

MASING-MASING

sumber gambar : http://rochenry-ochen.tumblr.com/post/120359697489/di-sebuah-persimpangan Apakah aku yang terlalu terampil menampakkan raut wajah menyalahkan, hingga berat untukmu melangkah kemari? atau, rupanya aku hanya diabaikan karena ketakpahamanmu sama sekali pada kecewaku? Bila opsi kedua, maka dengan sangat berterimakasih aku mundur dari kehidupanmu. Adalah sebuah kesia-siaan jika aku memilih bertahan. Bukankah jelas, aku menjadi yang tak penting? Aku mana betah untuk duduk berlama-lama diatas pengabaian Lalu kemudian mari perkenankan diri kita melangkah bebas pada jalan masing-masing. Kau, baik-baiklah pada apa yang kusebut mengecewakan Tunjukkan padaku, suatu hari, bila kecewaku memanglah keliru. Lalu aku, Biar kuurus kesalahanku: telah begitu yakin pada keteguhanmu Yang pada akhirnya, aku mendapati pertahananmu runtuh. Bukankah mulanya memang kita punya jalan cerita masing-masing? Maka harusnya aku tak perlu khawatir ketika pada akhirnya kita memang harus masing-masin