Judul Novel : Maneken
Penulis : Sengaji Munkian
Penerbit : Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit)
Cetakan I : September 2015
Tebal buku : x+181 halaman
“Apa yang dapat kita harapkan dari
kehidupan dan diri kita? Apakah itu kesempurnaan? Jika memang begitu,
buru-burulah kau merenung, barangkali itu menjadi obsesi butamu. Ketahuilah,
bahwa hal tersebut tidak akan secara sungguh tercapai. Tidak ada kesempurnaan
absolut yang dihasilkan homo sapiens – sekalipun homo sapiens modern, yakni
kita! – kesempurnaan yang ada hanyalah puing-puing usaha paripurna yang patut
dibanggakan sekadarnya, tak boleh lebih.”- hal 179
Kalimat
pembuka dalam resensi ini kukutip dari bab epilog yang tak lain adalah bagian closing dari novel ini. Aku menyebut
kutipan itu sebagai pesan inti yang dimaksudkan penulis akan sampai kepada
pembacanya. Sekaligus merupakan inspirasi untuk memberi judul pada resensi ini.
Menutup
halaman terakhir adalah pencapaian terpenting bagi seorang pembaca. Namun akan
menjadi pencapaian mengagumkan bagi seorang penulis, ketika mengetahui
pembacanya tersenyum usai menuntaskan kalimat terakhir tulisannya, sembari
mengendapkan kesan pesan ke dalam hatinya yang diperoleh dari hasil membaca
novel dalam genggamannya. Kurasa memang sejatinya itulah tujuan si penulis:
menyebarkan pemahaman baik. Kalau diperkenankan untuk berlebihan dalam
berekspresi, kurasa kalimat ini yang akan kulontarkan sebagai caraku mengekspresikan
kepuasan pada sebuah karya yang lahir dari buah pemikiran seorang Sengaji
Munkian:
“Sebagai
penulis, anda telah berada dalam pencapaian mengagumkan itu, Kak!” (Menilik
biodatanya di novel ini, rasanya sah-sah saja bila
kugunakan kata ‘Kak’ sebagai kata ganti untuk menyebut penulisnya yang berusia hanya sekitar tiga tahun di atasku :D )
kugunakan kata ‘Kak’ sebagai kata ganti untuk menyebut penulisnya yang berusia hanya sekitar tiga tahun di atasku :D )
Ketahuilah,
Wahai pecinta novel, barangkali kalian sama sepertiku, bosan dengan cara
bercerita novel-novel yang terlalu mainstream
atau berdiksi sangat flat, maka dengan
berani kurekomendasikan novel ini sebagai suplemen menumpas kebosanan itu. Atau
kepadamu, para pembaca pemula, mungkin kau bingung novel apa yang akan
membuatmu tertarik pada aktivitas membaca, yang mungkin nampak membosankan bagi
sebagian orang. Maka kusarankan padamu, lekas mencoba novel ini. Barangkali kau
akan dibuat jatuh cinta pada dunia kata-kata.
****
Sebelum
kuceritakan bagian-bagian mengagumkan juga bagian lain yang kusebut sebagai
kekurangan dari novel ini, sebaiknya kalian mengetahui lebih dulu garis besar
ceritanya.
Namanya
Sophie Claudia Fleur. Dialah tokoh sentral berwujud manusia dalam cerita yang
ditulis Sengaji Munkian. Sophie diceritakan sebagai wanita perfectionist nan ambisius penggagas reformasi Medilon Shakespeare,
sebuah toko busana yang ia ambil alih penanganannya dari tangan saudara
tirinya, Vince – yang menurutnya sangat tidak berbakat dalam bisnis. Karakter
ambisius Sophie digambarkan dengan sangat kuat oleh penulis. Sifat bossynya sangat menonjol ketika
berkomunikasi dengan para karyawan maupun rekan bisnisnya, bahkan kepada Vince
selaku saudaranya. Namun tak dapat dipungkiri, di tangan seorang perfectionist,
Toko Medilon Shakespear berkembang pesat. Menjadi toko busana terkenal. Sebuah
pencapaian yang selaras dengan ambisi dan kerja keras Sophie.
Obsesi
Sophie pada kesempurnaan selalu ia terapkan dalam segala hal di hidupnya. Tak
terkecuali urusan percintaan. Obsesi pada cinta yang ia punya, diwujudkan
dengan mendatangi seorang pengrajin untuk minta dibuatkan sepasang maneken yang
akan ia gunakan sebagai bagian dari dekorasi inti dalam Medilon Shakespear. Bahkan
penamaan sepasang maneken ini, ia ambil dari namanya dan nama kekasihnya,
Bailey Fereli. Inilah muasal munculnya tokoh maneken dalam cerita, Claudy dan
Fereli, sebagai penguhuni etalase utama.
Ambisi
yang mendasari penciptaan dua maneken ini selanjutnya menjadi alasan kenapa maneken
Claudy dan Fereli sangat digandrungi pelanggan. Bagaimana tidak, di setiap
pergantian tema toko, Sophie selalu menjadikan sepasang maneken ini sebagai
bintang utama. Apapun yang ada di kepala Sophie sebagai ide untuk dekorasi
tokonya, maka Claudy dan Fereli harus
siap untuk diperlakukan sesuai yang Sophie inginkan.
Tanpa
disadari, obsesi Sophie menyebabkan tumbuhnya obsesi cinta antara Claudy dan
Fereli sekaligus menjadi hambatan cinta sepasang maneken itu. Sophie yang
mempersatukan Claudy dan Fereli dalam satu etalase, namun pada akhirnya Sophie
juga yang memisahkan keduanya. Hmm, Mungkin kau penasaran bagaimana bisa
sepasang benda mati bisa memiliki obsesi terhadap cinta? Kau pasti tidak tahu
bahwa maneken memiliki lima kemampuan yang tidak diketahui oleh manusia. Atau kau
juga penasaran apa saja yang pada akhirnya diperoleh Sophie atas ambisinya yang
melambung itu? Maka sekali lagi kukatakan kepadamu, lekaslah memiliki buku ini
dan menelusuri kisahnya secara lengkap. Maka akan kau temukan banyak sekali
hikmah untuk dihubungkan dengan kehidupan yang sesungguhnya.
****
Everything about this novel is
unique…
Di
awal sudah kukatakan bahwa novel ini adalah suplemen pengusir kebosanan bagi pecinta
novel yang nyaris berhenti membaca karena senantiasa mendapati novel dengan
cara bercerita yang begitu-begitu saja. Dalam kalimat lain, dapat dikatakan
bahwa novel ini berbeda. Novel ini unik. Maka perkenankan diriku untuk mengulas
apa saja yang menjadi keunikan novel ini:
1. Judul Novel dan Nama Penulis
Entahlah,
apakah hanya kebetulan atau aku saja yang berlebihan. Ketika mengetahui adanya
novel ini melalui media sosial, aku merasa ada yang menarik bahkan hanya dengan
melihat covernya. Novel Maneken oleh Munkian? bukankah itu unik? Jika menurutmu
tidak, maka lupakan! Ini murni opiniku.
:D
2. Daftar Isi
Sebelum
membaca isi novel secara menyeluruh, lazimnya, seorang pembaca tidak akan
melewatkan bagian daftar isi. Selain karena letaknya di halaman permulaan, juga
karena daftar isi menyajikan judul-judul bab dalam novel yang akan kita baca.
Aku dibuat takjub dengan daftar isi novel maneken ini yang amat berbeda dari
novel kebanyakan. Ya, judul-judul babnya diambil dari kata kerja pasif seperti:
dinamai, diletakkan, diperlihatkan, dan sebagainya. Setelah kalian menamatkan
novel ini, kalian akan dibuat menganggukkan kepala karena paham bahwa pilihan
judul-judul bab itu sangat cocok dengan sudut pandang yang digunakan penulis.
Sudut pandang benda mati yang pada hakikatnya tidak bisa menjadi pelaku kata
kerja (subjek) melainkan menjadi yang dikenai kata kerja (objek).
Tidak
hanya itu, Sengaji Munkian juga melakukan pengelompokkan beberapa bab dengan
satu tema. Lagi-lagi, setelah kau menuntaskan novel ini, kau akan dibuat
mengangguk paham bahwa pengelompokkan itu berdasarkan tema-tema yang dipilih
Sophie sebagai tema Medilon Shakespear dalam jangka waktu tertentu.
3. Sudut Pandang
Bicara
sudut pandang, berarti kita sedang bicara mengenai cara penulis masuk dalam
cerita. Dalam novel ini, penulis menggunakan sudut pandang tokoh utama pelaku
utama atau sebagai ‘aku’. Boleh kutebak, usai membaca uraian singkat atau garis
besar cerita yang kutulis di atas, mungkin kalian menebak tokoh ‘aku’ adalah
Sophie. Jika demikian pendapat kalian, maka itu keliru. Sengaji Munkian masuk
dalam cerita dengan mengambil sudut pandang Claudy dan Fereli. Sebagai benda
mati. Itulah letak keunikannya. Mayoritas ‘aku’ diperankan oleh Claudy, sisanya
adalah Fereli. Tapi tenang, kalian tidak akan dibuat bingung karena Sengaji
Munkian dengan baik hati memberitahu setiap kali berganti sudut pandang. Kalian
akan tahu siapa tokoh ‘aku’ pada bagian-bagian tertentu karena ada nama yang ia
cantumkan diawal pergantian sudut pandang itu, Claudy atau Fereli.
Dengan
sudut pandang itu, maka pendeskripsian setting waktu, tempat, dan suasana
terbatas hanya pada hal-hal yang dapat dijangkau oleh Claudy dan Fereli. Namun,
kelebihan sudut pandang ini adalah kita pembaca dibuat seolah-olah merasakan
menjadi Claudy atau Fereli. Dengan begitu, makna dibalik kalimat-kalimat
penulis dapat dengan mudah kita rasakan karena kita seperti berperan dalam
cerita.
4. Pilihan kata (Diksi)
“Padahal bersajak sepenggal pun
susah, namun ternyata SJ Munkian dalam Maneken mampu meramu ratusan halaman
puitik. Setiap kata dalam novel Maneken ini seakan dipilih dengan kesadaran
penuh akan rimanya, maknanya, filosofinya, dan kritiknya. Sebuah novel yang
riuh dalam kesenyapan” – Tasaro GK, penulis novel Nibiru
dan Kesatria Atlantis.
Aku
sepakat sekali dengan kalimat testimoni yang tertulis dicover belakang novel
ini. Diksi yang dipilih Sengaji Munkian benar-benar mengagumkan. Tidak hanya
indah, tapi juga penuh makna. Puitik dan filosofis. Kalau kalian adalah penyuka
kata, dapat kupastikan kalian akan jatuh cinta dengan kalimat-kalimat dalam
novel ini. Kalimatnya punya kekuatan, daya tarik, dan makna yang mendalam. Perlu
contoh? Perhatikan saja kutipan pembuka dan penutup resensi ini. :)
5. Genre Novel
Bagiku,
pembaca berlatar-belakang lingkungan yang terbiasa berpikir logis (aku
mahasiswa fisika loh), ada dua jenis novel yang kelogisannya sering
kupertanyakan: novel fantasi dan horor. Novel horor, menjelaskan kemustahilan
sesuatu sebagai efek dari keberadaan hal-hal mistis. Hal-hal mistis ini
terbilang masih diyakini ‘ada’nya di masyarakat. Itulah mengapa, penulis tidak
perlu khawatir tentang penerimaan novel horornya ketika sampai kepada pembaca. Karena
meski tanpa penjelasan ilmiah, penulis masih bisa menyelaraskannya dengan apa
yang diyakini ‘ada’ oleh pembaca. Berbeda dengan novel fantasi, sebagai wujud
dari permainan imajinasinya, penulis butuh kalimat-kalimat canggih untuk
membangun cara berpikir pembaca agar dapat menerima imajinasinya. Sejujurnya,
aku tidak begitu suka dua jenis novel ini. Tapi khusus novel bergenre fantasi,
ada pengecualian. Jika fantasinya disajikan dalam bentuk science fiction, dengan senang hati aku menyebut kemustahilan itu sebagai
buah imajinasi yang mengagumkan. Karena science fiction menyertakan alasan
ilmiah atas terjadinya sebuah kemustahilan yang muncul dari pemikiran penulis.
Sungguh
berbeda dengan novel maneken ini. Entahlah, aku bingung menggolongkan novel ini
lebih rinci. Novel ini menceritakan tentang maneken yang sebenarnya punya lima
kemampuan yang tidak diketahui oleh manusia. Diantaranya adalah merasakan
emosi, bergerak, bahkan memasuki alam mimpi manusia. Dalam dunia nyata, sudah
dapat dipastikan bahwa maneken yang hidup adalah menyeramkan. Tapi dengan
ramuan kata Sengaji Munkian, cerita itu tidak jadi menyeramkan. Maka tak bisa
kugolongkan novel ini sebagai novel horor. Yasudah, kita sebut saja ini novel
fantasi. namun jelas novel ini tidak termasuk science fiction. Tapi aku tetap menyukai novel ini.
Lalu?
bukankah tadi kubilang aku tidak begitu menyukai novel fantasi kecuali science fiction? Tapi kenapa bisa
menulis kelebihannya sepanjang ini? Yapp.
itulah uniknya novel Maneken. Tidak ada penjelasan logis bagaimana maneken bisa
hidup seperti manusia. Tapi terus terang, aku tetap menyukai novel ini. Sengaji
Munkian pandai sekali membuatku enggan meninggalkan novelnya meski aku tahu ceritanya
tidak logis. Sengaji Munkian punya kata-kata yang berenergi. Mengalihkan
fokusku bukan pada kelogisan cerita, tapi pada makna tersirat yang terkandung
di dalamnya. Daebakk!
6. Ide Cerita
Baiklah,
mungkin bagian ini tidak akan kalian ketahui tanpa aksi kepo besar-besaran seputar penyusunan novel ini. Pada halaman
celoteh penulis dan prolog, kita akan tahu bahwa novel ini punya hubungan
khusus dengan Letto, sebuah grup band musik yang sempat booming di awal kemunculannya di layar kaca. Dilatarbelakangi
alasan tersebut, akhirnya kuputuskan untuk browsing
lebih mendalam mengenai novel ini. Tidak sulit, karena sebelum event resensi
ini, sempat diadakan blogtour dan salah satu kupasannya adalah wawancara
penulis. Ternyata, ide penulisan novel Maneken salah satunya diperoleh Munkian
dari video klip lagu berjudul Dalam Duka - Letto. Seorang Sengaji Munkian
akhirnya membuktikan bahwa ide dapat muncul darimana saja. Dan menurutku,
dengan penjelasan seorang Munkian tentang lagu Letto yang menginspirasi akan
berdampak positif bagi eksistensi Letto itu sendiri. Mereka yang mungkin tak
mengenal Letto sama sekali, boleh jadi terdorong rasa penasarannnya untuk
mencari tahu tentang grup band itu. Lalu bagi mereka yang sudah pernah mengenal
Letto, akan muncul kerinduan untuk mendengarkan lagi lirik beriring nada yang
dinyanyikan vokalisnya, Noe. Maka peminat Letto akan selalu ada. Inilah nilai
plus sebuah karya: berdampak positif bagi sekitarnya.
“Cerita yang kita punya, takkan ada
jika tak percaya”
Sebaris
lirik ini benar-benar mewakili cerita Claudy dan Fereli dalam novel Maneken. Silahkan klik disini untuk mengerti betapa video klip lagu 'Dalam Duka-Letto' benar-benar menginspirasi novel ini.
***
Baiklah,
kusudahi sesi menyanjung novel ini. Ada yang lebih esensial dan dinantikan
penulis ketika karyanya sampai pada pembaca: Kritik!
Pertama,
aku ingin membahas mengenai penulisan nama Fereli yang dicetak tebal pada
halaman 54. Jika kita sudah sampai jauh di halaman berikutnya, kita akan
menemui dua nama maneken – Claudy dan Fereli – dicetak tebal sebagai tanda pergantian
sudut pandang. Disinilah letak kejanggalan halaman 54. Bila memang, penulisan
nama Fereli di halaman tersebut untuk menunjukkan bahwa sudut pandang yang
sedang digunakan pada bagian itu adalah Fereli, dengan sangat berani aku katakan
bahwa ini merupakan kesalahan ketik. Karena di bagian itu, sudut pandangnya
masih Claudy, sekalipun mayoritas dialog diambil alih oleh Fereli yang sibuk
bercerita tentang muasal diciptakannya mereka berdua.
“Benar, kenapa aku ini. Dalam
ingatanku tentulah aku tahu bahwa dia penciptaku. Namun, yang mengejutkannya
ternyata aku dan Fereli…” – hal 54
Kutipan
itu cukup menjelaskan bahwa tokoh ‘aku’nya adalah Claudy, bukan Fereli. Lalu
apa maksud nama Fereli yang bercetak tebal di halaman itu?
Kedua, kalimat
rancu. Ada beberapa kalimat yang membuatku, sebagai pembaca, dibuat ‘mikir’
sedikit lama untuk kemudian paham dan memakluminya sebagai kalimat rancu.
“Kremasi. Apa-apaan itu. Istilah
itu hanya untuk jasad yang telah mati, bukan untuk Claudy yang hidup. Bukankah
aku sudah bilang bahwa api tidak digunakan untuk menghukum benda mati” – hal
166.
Dengan
kalimat tersebut, aku bingung. Karena di situ Fereli mengakui Claudy sebagai
benda hidup. Tapi kemudian Fereli mengatakan bahwa api tidak digunakan untuk
menghukum benda mati. Tidakkah itu berarti bahwa Claudy bukan benda mati dan
layak dibakar dengan api? Sementara pada situasi itu, bukankah Fereli tidak
menginginkan api menyentuh tubuh Claudy sedikit pun?
“Ayo kita letakkan dua pasangan
bahagia ini pada posisinya. Claudia yang menaiki ayunan dan Fereli yang
mendorongnya dari belakang” – hal 40
Kata
‘dua pasangan’ dalam kalimat tersebut dapat menimbulkan pemaknaan bahwa maneken
yang dimaksud Sophie terdiri dari dua pasang, yakni dua maneken laki-laki dan
dua maneken perempuan. Sementara yang dibahas adalah Claudy dan Fereli. Hanya
sepasang. Ditambah lagi, pada akhir bab tersebut, kalimatnya diulang lagi
dengan ketiadaan kata ‘dua’ setelah kata pasangan. Kesannya, dalam satu halaman
menampilkan dua kalimat dengan maksud yang sama namun satu diantaranya adalah
kalimat yang salah dan yang lainnya adalah kalimat yang benar.
“…Itulah yang paling malang, dan
itulah yang terjadi padaku. Spesies benda mati semacam diriku”
– hal 99
“Claudy bukan benda, dia sepertiku,
dia kekasihku, dan dia pasanganku” – hal 165
Dua
kutipan kalimat itu adalah tentang ketidakkonsistenan tokoh Fereli. Ini bukan
tentang wujud Fereli yang tidak konsisten sebagai maneken, melainkan tentang
ketidakkonsistenannya menyebut dirinya dan Claudy, sebagai benda atau bukan
benda.
Ketiga,
Alur ceritanya terlalu cepat dan sedikit ‘maksa’ menurutku. Aku maklum karena
memang novel ini relatif lebih sedikit jumlah halamannya dibanding novel lain yang
bisa mencapai lebih dari 400 halaman, yang dengannya penulis dapat lebih leluasa
mendeskripsikan apapun dalam setiap tahap alurnya. Ditambah lagi, keterbatasan
sudut pandang yang diletakkan pada benda mati sehingga hanya situasi yang
berada di sekitar manekenlah yang dapat diceritakan. Contoh ‘keterpaksaan’ yang
kumaksud antara lain adalah kemunculan Bailey Fereli pada malam Gleam atau
Fereli yang bisa membongkar catatan harian virtual Sophie persis ketika
kesempatan terakhir memasukkan password yang jumlah karakternya serupa paragraf.
Keempat,
Siapa Charlotte? Pertanyaan ini muncul sejak aku membaca halaman 92. Nama
Charlotte muncul dalam permintaan putus hubungan dari Bailey Fereli pada
Sophie.
“…Aku bertemu Charlotte. Dia adalah
orang terakhir yang akan kau selamatkan dari
jurang atau mungkin kau orang pertama yang akan mendorongnya ke dasar
jurang di detik pertama. Demi Tuhan, Sophie, dia masih hidup, masih sama
seperti dulu, satu-satunya yang berubah darinya adalah dia tinggal bersama
bibinya di desa. Berbeda sekali dengan versi yang kau ceritakan padaku…”
– hal 92
Kemunculan
kalimat ini benar-benar membuatku penasaran tentang siapa Charlotte yang
membuat Bailey Fereli membatalkan pernikahannya dengan Sophie yang tinggal
menghitung hari. Malangnya, aku benar-benar tak menemukan jawaban apapun hingga
akhir cerita.
****
Perlu
kutegaskan bahwa setiap tulisan selalu menuai presepsi pembaca. Tidak peduli
banyak sedikitnya kelebihan dan kekurangan novel ini, aku hanya menuangkan apa
yang menjadi presepsiku sebagai pembaca. Maka apabila muncul ketidaksepakatan
pada resensiku, kalian tak perlu risau mempermasalahkannya. Bukankah isi kepala
setiap manusia pada dasarnya berbeda-beda? Tapi sudah tentu, sepakat atau
tidaknya kalian pada resensiku ini hanya bisa terjadi apabila kalian ikut
membaca novel Maneken yang kumaksud. Bergegaslah mendapatkan buku ini, apapun
caranya (yang penting halal).
Mari
belajar makna obsesi, makna kesempurnaan, makna pengabaian, makna cinta, dan
makna hidup lainnya melalui sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang benda
mati. Mari sadari, persamaan dan perbedaan kita sebagai mahluk hidup dan mereka
yang disebut benda mati. Mari renungkan, barangkali ada sisi kemanusiaan kita
yang mati oleh obsesi yang terlampau tinggi. Mari belajar peka, terhadap
kalimat-kalimat yang sampai tidak secara tersurat melainkan tersirat. Mari selami
dunia fantasi berpikirnya seorang Sengaji Munkian dan bersiaplah jatuh cinta
pada diksi yang ia pilih. Sebagai closing
resensi mari simak sebuah paragraf yang kupilih, barangkali menambah minatmu
pada novel ini.
“Jangan sekali-kali menyatakan diri
sebagai entitas yang paling malang di muka bumi. Pernah dengar ungkapan ‘Engkau
adalah bidadari suci dari kayangan dengan mahkota cahaya, sedangkan aku adalah
gelandangan dari perkumuhan jorok dengan sandal bunting dan jeblok’.
Ketahuilah, sekalipun kau berada di posisi manusia urakan yang hidup di
perkumuhan nestapa, meskipun menjijikkan, keberadaanmu tetap berharga. Dipedulikan.
Minimal orang menyeringai muak atau iba. Sandal bunting, butut, terkelupas, dan nahas, yang memendamkan muka
serta sekujur tubuhnya ke lumpur perkumuhan di musim penghujan. Bau tanah
bercampur sampah, minyak, dan benda yang membusuk tak terkira. Itulah yang
paling malang terjadi padaku. Spesies benda mati semacam diriku.” – hal 99
Terbaik
BalasHapusThanks! 😊
HapusBerapo intan belinyo
BalasHapus