Langsung ke konten utama

Kerupuk


Mentari meninggi. Senja mulai menyombongkan diri. Langit jingga mulai jadi sorotan tiap pasang mata di bumi. Dua manusia dalam sepetak kamar kostan menjadi pengecualian kali ini. Tak tampak ketertarikan mereka pada langit senja. Lamunan tentang kehidupan yang mereka jalani lebih menarik untuk diperhatikan saat ini.
****
Mungkin sudah sekitar lima belas menit kami berjalan kaki. Kami baru menyudahi aktivitas memenuhi rasa dahaga akan ilmu di ruang kuliah. Tsaaah... Tampaknya begitu. Tapi, perjalanan pulang cukup membuat kami kembali dahaga. Dahaga dalam makna sebenarnya.
“Buruan buka pintunya, Fi” Aku berkata sedikit memaksa. Sungguh, kerongkongan ini rindu sejumlah air untuk mengalir di dalamnya.
“Sabar, Ntan. Ini juga lagi nyari kuncinya.” Rofi menjawab dengan mata dan tangan terfokus pada ransel yang sedang digendongnya di dada. Sebuah kunci menjadi target pencarian di dalam tasnya.
Rofi tersenyum setelah kunci yang dicari tersentuh oleh jemarinya.
“Ini dia!”
Aku sudah tak peduli. Begitu pintu terbuka, Aku langsung menyerobot masuk ke dalam kamar Rofi. Menyambar sebuah gelas, dan menuangkan air minum dalam teko yang letaknya persis bersebelahan. Dalam sekejap, air dalam gelas sempurna berpindah ke dalam kerongkonganku. Rofi tersenyum melihatku lega melepas dahaga.
Kami berdua merebahkan diri ke lantai. Melepaskan kepenatan sekaligus rasa gerah yang sejak tadi bergelayut dalam raga. Sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Untuk beberapa menit selanjutnya, Rofi mencoba memecah keheningan.
“Baru tanggal berapa ini, Ntan?”
“Tiga belas, Fi. Kenapa?” Aku menarik diri dari lamunan. Menunggu kalimat Rofi selanjutnya.
“Huffft..”
Rofi menghela napas panjang. Terdengar seperti sedang mengeluhkan sesuatu. Lalu bangkit dari tidurnya dan meraih sebuah dompet dalam ranselnya. Selembar uang kertas berwarna merah keunguan bertuliskan nominal Rp 10.000,- menjadi penghuni tunggal dompet yang ia pegang.
“Baru dua minggu? Uang di dompet udah tinggal segini. Jatah bulanan baru dikirim 3 hari lagi. Gimana ni, Ntan?” Rofi menyambung helaan napas panjangnya dengan kalimat yang membenarkan dugaan bahwa ia sedang mengeluhkan sesuatu.
Aku tersenyum tipis. Bangkit dari tidurku, ikut mengambil sebuah tas yang tadi kulemparkan persis di samping tasnya. Sebuah dompet kukeluarkan dari dalam tas. Pun sama, uang yang kukeluarkan tak beda nominalnya dengan milik Rofi. Hanya lembarannya lebih banyak, karena berupa lima lembaran uang dua ribuan.
“Dimana letak perbedaannya, Rof?”Aku menjejerkan lima lembar uang yang kupunya di atas lantai.
Kami berdua tetawa. Entah apa makna tawa kami hari itu. Tertawa bersama, saling mentertawakan, atau justru mentertawakan diri masing-masing.
****
Jingga berganti hitam. Malam menjelma. Dua anak manusia mulai diserang rasa lapar. Namun sama-sama tak berani berkhayal tentang menu-menu makanan lezat yang bisa mengenyangkan perut mereka. Bahkan menyampaikan pernyataan bahwa perut mereka minta diisi pun tak bisa dilakukan.
Hingga bunyi perut keroncongan Rofi tertangkap oleh sepasang telinga disampingnya yang tak lain adalah Aku. Persembunyian kami runtuh.
“Laper, Fi?” Aku melontarkan pertanyaan, memastikan kesamaan rasa yang juga melanda perutku.
“hehe.. Iya, Ntan.” Rofi tersenyum malu.
“Aku juga.” Kali ini aku yang jujur. Mencoba menjelaskan bahwa ia tak perlu malu. Karena aku pun sama.
“Yuk kita ke warung, trus beli kerupuk. Malem ini cukup keluarin uang dua ribu. Kamu seribu, aku seribu. Kita tetep bisa kenyang kok. Masih ada nasi kan?” Rofi memberi jalan keluar.
Makan malam dengan kerupuk? Sama sekali bukan tawaran menggiurkan. Tapi gagasan itu jadi lebih baik dari bayangan akan tidur dengan perut yang meronta-ronta minta diisi.
Aku mengangguk, mengiyakan. Segera berdiri, mengenakan jilbab dan jaket untuk menutup aurat yang kami biarkan terbuka karena berada di dalam kamar.  Kemudian beranjak pergi menuju warung terdekat. Membeli makanan berharga dua ribu rupiah, alternatif makanan malam ini, kerupuk.
****
Tak lebih dari lima menit, kami sudah kembali di kamar kostan. Menyendok nasi dari dalam rice cooker, memindahkannya dalam piring masing-masing.
“Ada kecap?” Aku bertanya memastikan bahwa sahabatku akan mengunyah makanan dengan rasa yang sama, nasi-kecap-kerupuk. Biasanya aku tak pernah bertanya. Bahkan lebih sering menyodorkan apapun yang kupunya pada Rofi. Tak terkecuali urusan kecap. Namun keadaan sedang tak mendukung. Tanganku sedang menggenggam sebotol kecap yang isinya sudah sangat sedikit. Sejak tadi kubalikan posisi botolnya, agar semua isinya maksimal berkumpul di tutupnya. Sehingga saat dituangkan, lebih cepat keluar.
Maafkan aku, Rof. Aku tak bisa berbagi kali ini.
“Ada, tapi…”
Rofi menggantung kalimatnya dan membalikan badan mengambil sebuah botol kecap di atas meja dan membaliknya.
“tiinggal seginiiii… hahahha”
Kedua botol kecap kami sandingkan. Kami tertawa bersama. Lebih tepatnya mentertawakan mirisnya keuangan kami saat itu.
“Sedih amat sih, Rof. Emaaak, anakmu pengen makan enaak.”Aku bicara setengah tertawa setengah menahan tangis. Mendadak rindu masakan ibu di rumah. Walau sederhana, setidaknya lebih berwarna daripada nasi, kecap, dan kerupuk ini.
“Sabar ya, Ntan. Sedihan mana? Makan begini ,apa minta uang ke rumah? Yang di rumah belum tentu loh makannya lebih baik dari ini. Jangan ngeluh, dong. Semangaaat! Yuk makan.”
Haduh, Kalimat Rofi mau tak mau meluluhlantakkan batinku. Membatalkan segenap rasa sedihku. Merasa tak pantas mengeluhkan keadaan.
“Maafkan Intan, Mak, Pak” Aku bergumam dalam hati. Menyesali kalimatku sendiri.
its okay. Anggaplah lagi makan nasi rendang, ayam penyet, atau apalah. Mungkin imajinasi kita bisa menambah kenikmatan rasa hidangan hari ini. Ya nggak, Rof?” kalimatku terdengar menyemangati diri. Disusul suapan nasi pertama menerobos mulutku.
“Iya, dong. Dan yang pasti, makanan ini lebih nikmat kalo disantap sembari bersyukur. Semoga tujuan mulia untuk berbakti pada orang tua menambah barakah di makanan ini ya, Ntan.” Rofi ikut menghantarkan sendoknya ke dalam mulut.
Semua akan indah bila bersyukur.
****
Suapan nasi pertama mungkin ditelan serentak dengan menelan pahitnya kehidupan anak kos. Kami berdua kembali berdialog dengan diri masing-masing. Mengurutkan beberapa kejadian serupa di masa yang sudah lama berlalu. Ini bukan kali pertama kami makan malam dengan nasi kecap kerupuk. Sudah ada beberapa kali makan malam, makan siang, bahkan sarapan dengan menu serupa. Tapi malam ini terasa spesial. Kami merasakannya berdua. Menghadirkan sensasi perasaan tersendiri. Seperti perasaan senasib seperjuangan. Kami tertawa getir untuk kehidupan kami sendiri.
****
Drrt… drrrt… drrt…
Getar ponsel Rofi berhasil menarik perhatianku yang sedang menuang air minum ke dalam gelas. Sebaris kalimat di baris teratas layar posel itu terbaca jelas olehku.
Pesan dari Komti Fisika
Berganti sebaris kalimat lagi
Selamat berbahagia teman-teman, uang BIDIKMISI…
Kemudian berganti sebaris kalimat baru. Persis setelah kata bidikmisi, Aku mulai menggantung harapan. Semoga sebuah kabar gembira menjadi jawaban atas pertanyaanku tentang hidup malam ini.
Sudah CAIR. Jangan lupa sedekah :D
Aku meletakkan gelas di tanganku. Mengambil ponsel itu. Bermaksud membaca detail pesan masuk barusan. Aku bahkan lupa meminta izin pemiliknya, Rofi. Aku paham, ini bukan pesan pribadi. Rofi tak kan marah.
“Rofii.. uang BM udah caiir.” Aku berucap girang.
Tanpa ba-bi-bu,Rofi merebut ponselnya. Senyum sumringah langsung terlukis di wajahnya pasca membaca pesan yang dimaksud. Dalam hitungan satu-dua-tiga tanpa komando, Aku dan Rofi berteriak serentak.
“yeeeeee..”
Ups, mereka segera menutup mulut masing –masing. Tersadar bahwa hari sudah malam dan ada orang, selain kami, yang juga tinggal di kosan ini. Volume suara kami barusan, dapat dipastikan, sangat mengganggu.
“Ya Allah, Ntan. Baru aja dibilang. Semua bakal indah kalo bersyukur. Baru aja mau nangis nyuapin tiap sendok nasi ke mulut ini. Nggak disangka-sangka Allah malah ngasih jawaban lewat SMS ini. Uang beasiswa yang dikira bakal cair dua sampe tiga bulan lagi, eh malah cair lebih cepet. Alhamdulillah banget laah. Kerupuk dua ribu ini diganti sama Allah tiga juta enam ratus ribu, Ntan. Makasih ya Allah.” Rofi bicara sambal tersenyum. Jelas sekali, itu adalah kebahagiaan yang tulus.
Aku hanya tersenyum. Mendadak Speechless. Allah memang akan selalu memberi jawaban atas pertanyaan dan permintaan hamba-hambaNya. Utamanya, bagi mereka yang bersyukur.
****




Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?

  Judul         : Pergi Penulis       :  Tere Liye Penerbit      : Republika Penerbit Cetakan I    :April, 2018 Tebal buku  : iv+455 halaman “Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.” Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian   hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir:  “ apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong? ”. Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal