Langsung ke konten utama

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?


 Judul         : Pergi

Penulis       : Tere Liye

Penerbit      : Republika Penerbit

Cetakan I    :April, 2018

Tebal buku  : iv+455 halaman



“Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.”

Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian  hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir: apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong?”.

Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat diposting secara online dan berkala di fanpage resmi Tere Liye, kini melalui penerbit yang sama, kisah yang sudah ditunggu-tunggu oleh pembacanya itu akhirnya diterbitkan dan diberi judul yang sama singkatnya: Pergi. Lalu sama seperti yang kulakukan pasca membaca novel Pulang, kali ini izinkanku menulis ulasan terkait novel Pergi. Semoga berhasil membuatmu, pembaca reviewku, merasa penasaran dan tak sabaran untuk lekas membaca bahkan memiliki novel ini. Semoga....

(Note: Untuk yang tak paham dengan paragraf pembukaku, karena belum pernah membaca novel Pulang, coba deh intip dulu resensi novel Pulangku di sini. Biar kita nyambung ngobrolnya, hehehe)
****
“Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya, Agam. Dulu kamu bertanya tentang definisi pulang dan kamu berhasil menemukannya, bahwa siapa pun pasti akan pulang ke hakikat kehidupan.  Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan penting berikutnya yang menunggu dijawab. Pergi. Sejatinya, ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa kendaraannya? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut, ‘kamu akan pergi ke mana?’, Nak” –hal 86

Pergi. Sebuah novel yang berkisah banyak soal perjalanan Bujang pasca Tauke besar meninggal. Kini, Bujang punya tanggung jawab lebih dari sekadar menjalankan misi bisnis keluarga Tong. Sebagai pemimpin yang baru, Bujang berkewajiban menentukan visi, ke mana arah perjalanan keluarga Tong selanjutnya.
****
Berdasarkan informasi dari badan intelijen keluarga Tong, teknologi pendeteksi serangan siber –yang risetnya telah mereka danai, baru saja dicuri oleh sindikat penyelundupan narkoba terbesar di Amerika Selatan: El pacho. Dan dapat dipastikan bahwa El Pacho memiliki keterlibatan langsung dengan Master Dragon. Kasus ini menjadi babak awal perjalanan Bujang sebagai Tauke Besar. Bersama White, Salonga, dan Si kembar Yuki-Kiko, Bujang terbang ke Meksiko –lokasi terakhir keberadaan teknologi itu. Sesuai dugaan, di sana sudah siaga rombongan tukang pukul El pacho yang menjaga barang curiannya. Bujang lebih dari siap menghadapi kemungkinan itu. Tim yang ia bawa punya keahlian bertarung yang tak perlu diragukan lagi. Mereka menghadapi kuantitas dengan kualitas. Namun dalam usaha menumbangkan semua tukang pukul El pacho, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertopeng dari atap gedung yang dijebolnya sendiri, lalu dengan cekatan turut menghabisi tukang pukul El pacho yang tersisa. 

Bujang dan tim terperangah. Bukan merasa senang karena dibantu, justru curiga. Ada delapan keluarga penguasa shadow economy di Asia Pasifik, semuanya punya kepentingan melindungi data-data rahasia perusahaannya. Keberadaan teknologi itu tentu memiliki daya tarik untuk memancing keluarga lain merampas hak kepemilikannya. Pertanyaannya, laki-laki bertopeng ini kiriman dari keluarga yang mana?

Lalu dalam suasana segenting itu, belum tuntas satu kebingungan Bujang dan timnya, dengan santainya laki-laki itu malah menyenandungkan sebuah lagu berbahasa Spanyol lengkap dengan iringan gitar di tangannya.

Encanta de conocerte, senang bertemu denganmu, Bujang... Yeah, Bujang a.k.a, also known as, Si Babi Hutan, a.k.a. Agam.” -hal 11

Ia bahkan menyebut-nyebut Agam –nama asli Bujang. Hanya keluarga dan orang terdekat yang tahu nama itu. Siapa orang ini? Apa kepentingannya terlibat di sini?

“Perkelahian tangan kosong. Jika kamu bisa mengalahkanku, aku akan pergi, silakan bawa benda ini. Jika kamu kalah, aku akan pergi, tapi aku akan membawa benda ini. Teknologi ini menjadi milikku, pemilik barunya.” -hal 17

Kini, laki-laki itu justru menantang Bujang, sekaligus mempertegas bahwa posisinya bukan untuk membantu Keluarga Tong. Ia juga menginginkan teknologi itu. Meski tim yang membersamai Bujang terbilang tidak setuju, Bujang tidak punya pilihan selain menerima tantangan itu: berkelahi satu lawan  satu tanpa senjata apapun.

Sejak awal, Bujang tahu bahwa laki-laki di hadapannya bukan lawan sepele. Terbukti di dalam perkelahian, beberapa kali ia mengambil kesempatan menghantam Bujang dengan tinjunya. Ia bahkan menggunakan teknik kelelawar untuk melawan saat Bujang mengeluarkan teknik menghilang Guru Bushi.  Dengan teknik itu, selain bisa mendeteksi posisi Bujang saat menghilang, ia bahkan tahu arah serangan . Bujang kalah. Terpaksa membiarkan teknologi miliknya dibawa pergi.

“Adios, Hemanito..”

Salam terakhir dari laki-laki itu  sungguh menjadi pertanyaan besar bagi Bujang. Ia bahkan tidak tertarik lagi untuk mengkhawatirkan teknologi yang telah dicuri. Sebab dari Salonga, Bujang mengetahui bahwa kata ‘Hemanito’ berarti adik laki-laki. Bagaimana mungkin laki-laki itu mengaku sebagai seorang kakak, sementara selama ini yang Bujang ketahui dirinya adalah anak tunggal? Tapi soal nama Agam yang ia sebut di awal, ucapan laki-laki misterius itu sungguh tidak bisa dianggap angin lalu. Apakah memang ada cerita masa lalu kedua orang tuanya yang tidak Bujang ketahui? Kepada siapa Bujang harus bertanya sementara Bapak, Mamak, Kopong, dan Tauke  Besar telah mati? Atau laki-laki tadi hanya sedang berbohong? Tapi apa kepentingannya menciptakan drama picisan dalam situasi penyerangan segenting tadi?
*****
Kenapa Memilih ‘Pergi’?
Kurang lebih demikian cerita yang disajikan Tere Liye di bagian awal novel ini. Sungguh pembuka cerita yang mengejutkan bukan? Dengan langsung menghadirkan tokoh misterius di awal, bagian ini memegang kendali memainkan rasa penasaran pembaca untuk tak meninggalkan bacaannya sebelum ending. Tapi selain opening cerita yang demikian, ada banyak alasan lain yang bisa membuatmu tidak perlu ragu untuk segera menjadi pembaca novel Pergi. Mari kuberitahu beberapa hal di antaranya...

1.      Paduan Apik Genre dan Sudut Pandang
Sebagai sekuel dari novel sebelumnya, maka tentu genre novel Pergi ini masih selaras dengan novel Pulang: bergenre action. Apa yang paling kunantikan dari novel Pergi adalah sensasi membaca adegan-adegan perkelahian dengan senjata-senjata sejenis Shuriken, Katana, Pistol, Samurai, dan sebagainya, seperti di novel Pulang, yang terasa seolah-olah sedang menonton. Dan setelah menuntaskan halaman terakhir novel Pergi, harapanku terpenuhi. Penulisnya sungguh piawai menggambarkan detail suasana menegangkan saat tokoh-tokohya beradu senjata. Dengan penggunaan sudut pandang tokoh utama pelaku utama, Tere Liye bahkan bisa membuat pembacanya merasa mengalami tiap adegan secara langsung. Kutegaskan padamu, jangan membaca novel ini sebagai penghantar tidur atau bersiaplah pada resiko bahwa mungkin situasi menegangkannya akan terbawa ke dalam mimpimu. Ini serius!

2.      Pemilihan Tokoh dan Penokohan
Semua tokoh yang berperan di dalam novel ini punya karakter unik untuk membekas dalam ingatan pembacanya. Beberapa tokoh yang pernah muncul di novel Pulang masih turut mendominasi novel Pergi: Bujang, White, Salonga, Yuki-Kiko, Edwin, Tuanku Imam, Togar, Parwez, Basyir, dan sebagainya. Bukti bahwa tokoh-tokoh ciptaan Tere Liye membekas di ingatan adalah sekali nama mereka disebutkan di novel ini, pembaca langsung teringat karakternya dalam novel sebelumnya. Dan itu kualami sendiri. 

Adapun kemunculan beberapa tokoh-tokoh baru seperti Diego, Catrina, Hiro Yamaguchi, Payong, Vasily, Rembang, Otets, Maria, dan lainnya, juga disertai dengan penokohan yang kuat. Tere Liye berhasil memperkenalkan mereka dengan baik kepada pembaca.

Beberapa tokoh juga difungsikan oleh si penulis untuk merelaksasi ketegangan suasana yang dibangunnya. Semisal Yuki-Kiko, dua ninja perempuan yang selalu berulah dalam berbagai misi. Kadang tertawa sendiri membayangkan tingkah usil keduanya saat meminta penginapan presidential suite dalam misi memantau pembunuh bayaran atau menyaksikan keduanya berhadapan dengan mahluk sekaku Payong dan White. Adapula Salonga yang di dalam novel ini sering melontarkan kalimat candaan kepada Bujang khususnya saat menggoda Bujang yang terpaksa berduel dengan putri keluarga Otets, Maria. Dan ada kehadiran satu tokoh yang tak kalah menggelitik di novel ini: Thomas.  Ia adalah tokoh dalam novel Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. Tere Liye mempertemukan tokoh dari novel lain dengan tokoh Bujang. Sungguh menarik sekali mendapati Thomas bertukar kartu nama dengan Bujang dalam momen memenuhi undangan pernikahan putri keluarga Yamaguchi. Ditambah pula dengan cerita kehebatan masing-masing kartu nama mereka. Lucu sekali membayangkan pertemuan antar tokoh dari novel yang berbeda. Coba pertemukan Bujang dengan Soke Bahtera dari novel Hujan, Bang Tere. Mana tahu Bujang berencana mendeportasi seluruh penguasa shadow economy ke planet lain. Atau pertemukan Bujang dengan Trio ajaib Ali, Raib, dan Seli dari serial Bumi? Barangkali ia perlu belajar cara menghilang, mengeluarkan petir, atau menjadi beruang. Hahaha

3.      Alur Kisah yang Penuh Kejutan
Alur yang digunakan dalam novel ini sebenarnya adalah alur  maju, membuat pembaca bergerak mengalir mengikuti kisahnya. Tapi ada sepucuk surat yang tiap kali ditampilkan, akan menyeret pembacanya pada kisah masa lalu Samad –bapak Bujang, sekaligus mengungkap pertanyaan-pertanyaan Bujang menyoal identitas laki-laki bertopeng pada opening cerita. Kehadiran surat ini juga terbilang menarik. Sebuah surat dari masa lalu, yang diungkap menggunakan teknologi masa kini, untuk menguak cerita masa lalu pula. Ah, sungguh permainan dimensi waktu yang menarik.

Siapa pun tentu sepakat bahwa kunci kebertahanan pembaca pada novel yang dipegangnya adalah permainan alur yang penuh dengan kejutan-kejutan. Apa menariknya membaca novel yang sudah bisa ditebak endingnya? Nah, novel pergi punya kekuatan dari sisi itu. Sejak bab opening, kehadiran laki-laki misterius berbahasa Spanyol itu sudah menjadi kejutan, untuk kemudian kemunculannya diredam oleh penulis dan dimunculkan lagi di akhir sebagai kejutan baru lagi. Belum lagi soal arah strategi penyerangan antar keluarga Shadow economy yang tidak hanya didesain untuk mengecoh Bujang sebagai tokoh utama, tapi juga telah berhasil mengecoh prediksi pembaca. Benar-benar di luar dugaan. Jangan coba-coba sok tahu, ya. :D

4.      Pesan Moral
"...Dalam perkara shalat ini terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban  itu tidak luntur. Maka semoga, entah di shalat yag ke berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya..."  -hal 86

Bukan Tere Liye namanya, jika kisah yang ditulisnya minus pesan moral. Ia selalu menciptakan setidaknya satu tokoh religius yang bermain peran dalam menyampaikan nasihat-nasihat. Tokoh itu adalah Tuanku Imam, Paman Bujang. 

Aku meyakini bahwa setiap tulisan Tere Liye selalu membawa misi menanamkan pemahaman-pemahaman baik. Bahkan dalam genre action, dalam kelamnya dunia Shadow economy, Tere Liye tetap berhasil mengaduk-aduk batin pembaca melalui jalan pikiran tokoh utamanya, sekadar mempertanyakan ‘apa yang sesungguhnya kita cari di dunia ini?’.

Novel Pulang dan novel Pergi memang menjadi dua bagian yang tak terpisahkan. Bagiku, melalui keduanya, Tere Liye bermaksud menjelaskan begini: “Jika kita tahu hakikatnya pulang, maka kita seharusnya juga tahu kemana akan pergi”. Melalui kehidupan para pelaku shadow economy, Beliau mengajak pembacanya merenungi kembali soal ambisi. Bahwa jangan-jangan, kita yang bergerak maju atas nama ambisi justru yang paling tidak mengerti kemana akhir perjalanan yang telah mati-matian kita rancang sendiri.

Bab yang paling kusukai adalah bab “Pertanyaan Sederhana, Jawaban Panjang”. Pada bab itu, Bujang bertanya pada Salonga –guru menembaknya, penembak jitu di keluarga Tong yang pernah berprofesi sebagai pembunuh bayaran tapi rutin ibadah ke Gereja

“Apa kamu merasa hidupmu selurus itu, Salonga?”

Lalu pertanyaan itu menghasilkan penjelasan panjang lebar dari Salonga, yang kesemuanya, menghadirkan perenungan-perenungan di kepala pembaca.

“Di dunia Shadow economy, batas antara orang lurus dan jahat, tidak ada, Bujang”. –hal 110.

Ya, seringkali kita juga begitu, konsep benar salah kita dalam memandang hidup ini kadang-kadang menjadi absurd, tidak jelas batasannya. Bab ini semacam bahan intropeksi diri tentang apakah konsep benar-salah kita itu sudah berlandaskan sebenar-benarnya acuan?

5.      Memperkaya Wawasan
Jika kamu pernah membaca novel Tere Liye, tentu sering sekali menemukan istilah asing tanpa disertai catatan kaki. Biasanya, makna istilah tersebut akan lugas diceritakan atau tersirat dalam kalimat demi kalimat. Aku sendiri, saat tak berhasil atau tak sabaran menemukan maknanya dalam cerita, akan menggunakan google sebagai solusi. Dan selalu menyenangkan ketika mendapati apa yang kucari adalah sesuatu yang sebenarnya ada di dunia nyata.

Kuberi contoh, misalnya Kapal Von Humboldt yang dipakai Bujang untuk mengangkut ratusan tukang pukul ke Hong kong, ternyata diambil dari salah satu nama kapal terbesar di dunia. Atau Yamaguchi dan Bratva, yang merupakan nama kelompok mafia kelas dunia. Atau Sersan Vasily, nama seorang Sniper level internasional. Adapula La llorona, lagu Historia de un amour, dan lain-lain. Kehadiran istilah-istilah asing itu menjadi suplemen diksi dan menambah wawasan bagiku selaku pembaca. Dengan demikian, tetap ada pengetahuan faktual yang kita dapatkan meski bacaan kita berupa tulisan fiksi. Ah, Kemampuan Tere Liye menyajikan hal-hal yang pernah ada dalam dunia nyata untuk diramu menjadi kisah fiksi yang kompleks juga selalu membuatku terkagum-kagum. Kok nemu aja idenya yaa...?
*****
Apa yang kupahami soal sudut pandang cerita adalah bagaimana penulis memposisikan dirinya dalam bercerita. Mengenai ini, di novel Pergi, Tere Liye  menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama atau menjadikan Bujang si tokoh utama sebagai ‘aku’ –pencerita. Sudah kupaparkan tadi, bahwa kekuatan sudut pandang ini adalah bisa menyeret pembaca untuk seolah-olah mengalami seluruh kejadian dalam cerita secara langsung. Tapi kelemahannya ada pada keterbatasan dalam mengeksplor banyak hal untuk membangun suasana. Dengan sudut pandang 'aku', maka penulis hanya bisa menceritakan hal-hal dalam jangkauan alat indra si tokoh utama. Hal inilah yang kemudian membuatku merasa menemukan kejanggalan. 

“White di atas kontainer refleks menggeleng, tidak setuju –meski aku tidak melihatnya” –hal 17

“Persis saat itu, target terkonfirmasi, pembunuh itu telah melihat wajahku di teleskop, dia tidak menunggu lagi, segera menarik pelatuk senjata M24. Peluru tajam itu melesat dengan kecepatan 700 meter/detik. Tembakan yang jitu, tak meleset walau semili. Tapi takdir berkata lain, bukan aku yang tewas pagi itu.” –hal 135

“Pukul 16.45, lima belas menit sebelum pertemuan, Vasily sudah berada di salah satu dari tiga gedung di seberang restoran ternama. Dia tertawa kecil saat melihat teleskopnya” –hal 150

Tiga kutipan di atas cukup mewakili apa yang kumaksud terasa janggal. Ketika tokoh ‘aku’ mampu mendeskripsikan suasana yang bahkan tidak terjangkau oleh alat indranya. Bagaimana Bujang bisa menceritakan detail aktivitas seorang Sniper yang sedang berusaha menembaknya dari jauh? Atau mengetahui ekspresi White di balik Kontainer saat ia bertarung di Meksiko? Menurutku, ini sudah masuk wilayah sudut pandang orang ketiga yang mampu mengeksplor banyak hal di luar sepengetahuan tokoh utama. Tapi, entahlah. Mungkin si penulis punya alasan tersendiri atau aku saja yang keliru memahami. CMIIW :D

Selain itu, ada beberapa kesalahan ketik yang tidak begitu menjadi masalah sebenarnya, tapi mungkin perlu sebagai bahan koreksi. Semisal kata ‘Tuan’ menjadi ‘Tuang’, kata ‘istirahat’ menjadi ‘sitirahat’, dan sebagainya. Tapi ada satu kesalahan ketik yang berhasil membuatku berpikir keras, memastikan ulang siapa nama lengkap tokoh yang mati.

“Itu berarti sebelum pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati” –hal 149

Bukankah nama tokoh yang mati pada bagian itu adalah Rambang? Kenapa Kim? Bukankah Kim nama ibunya?
****
Terlepas dari sedikit hal yang menjadi kekurangannya, aku tetap merekomendasikan novel Pergi ini untuk dibaca siapa pun. Novel ini tidak sekadar novel genre action, yang hanya menampilkan kisah perkelahian semata. Lebih dari itu, novel ini sarat nilai-nilai kebaikan dan wawasan. Mengajari pembacanya soal hakikat kehidupan, ambisi, kesetiaan, prinsip-prinsip, dan pemahaman baik lainnya. Terkhusus untuk kamu yang pernah membaca novel Pulang. Tak perlu ragu lagi. Jemputlah novel ini untuk segera sampai di tanganmu. 

Penasaran soal siapa orang tua Bujang? Ingin tahu lebih jauh siapa saja yang termasuk dalam delapan keluarga penguasa shadow economy? Bagaimana mereka kemudian bersekutu? Atau tentang Basyir dan Tuan muda Lin yang muncul lagi ke hadapan Bujang? Atau bagaimana lucunya  membayangkan wajah si Kembar Yuki-Kiko saat diancam putus kerjasama oleh Bujang? (eh, mereka salah apa?) Atau tentang bagaimana Bujang akhirnya mengumandangkan adzan? Atau yang akan sangat membuatmu penasaran, bagaimana bila Bujang si Babi Hutan mulai terlibat urusan dengan seorang perempuan? Semuanya hanya akan kamu temukan di dalam novel ini.

Dan setelah membacanya nanti, bersiaplah pada kemungkinan menemui perasaan kesal yang sama seperti saat sampai pada halaman terakhir novel Pulang: merasa digantung, dan tak sabaran menunggu kelanjutan ceritanya. Hah? Jadi masih belum selesai?

“Tapi aku tahu, ke mana aku akan pergi sekarang” –hal 455

Menurutmu apa yang bisa diakhiri dari kata 'akan'? Hahaha  Mari bergabung bersamaku dalam barisan pembaca yang menunggu seri ketiganya. ;D
*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal