Ayat-Ayat Cinta 2: Tentang Diskriminasi dan Toleransi dalam Perbedaan (Resensi Novel Ayat-Ayat Cinta 2 Karangan Habiburrahman El Shirazy)
Judul: Ayat-ayat Cinta 2
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Republika
Tebal: vi + 698 halaman
Terbit: November 2015
Fahri Abdullah, demikian ia memperkenalkan namanya di hadapan lima belas mahasiswa pascasarjana di kampus University of Edinburgh.
Edinburgh? Fahri sudah melangkahkan kaki hingga ke negeri itu? Apa yang dia lakukan di sana? Untuk pendidikan? Untuk pekerjaan? Atau keduanya? Bagaimana dengan Aisha? Apakah dia ikut ke sana? dan bla.. bla.. bla… sekian pertanyaan terus menuntut jawaban.
Ya, kalian yang sudah lebih dulu berkenalan dengan tokoh Fahri dalam novel ayat-ayat cinta 1 karangan Habiburrahman El Shirazy atau Kang Abik yang terbit pertama kali tahun 2004, mungkin juga memiliki seabrek pertanyaan sebagai respon untuk kalimat pertama yang kutulis dalam resensi novel lanjutannya ini. Dan untuk kalian yang sudah memiliki novel ayat-ayat cinta 2, bisa dipastikan salah satu motif kalian membelinya adalah karena rasa penasaran untuk mengikuti kisah hidup laki-laki sederhana dengan kepribadian dan wawasan islam yang luar biasa itu, bersama seorang wanita cerdas dan kaya yang sudah resmi menjadi istrinya - Aisha. Romantisme dalam nuansa islami sepasang manusia ideal itu mungkin menjadi sesuatu yang kalian nantikan dalam novel ini. Rasanya tak berlebihan bila kukatakan bahwa kehadiran novel ini diharapkan mampu menjawab kerinduan kita kepada sepasang tokoh yang sudah kita kenal sekitar sepuluh tahun lalu.
Atau mungkin murni karena kalian adalah penggemar fanatik sang penulis, Kang Abik, yang tak sabaran menerima tambahan pemahaman tentang islam melalui bahasanya yang mudah untuk dicerna dan diterima. Atau justru kalian memang seorang ‘buku maniak’ yang keranjingan melihat ada novel setebal 700 halaman nangkring di toko buku dan merasa berdosa bila tak membawanya pulang ke rumah.
Apa pun motif kalian, tulisanku ini hanya bermaksud membantu mendorong kalian untuk tak ragu menjadikan novel ini sebagai koleksi. Aku siap ‘mengompori’ kalian untuk mengambil lembaran rupiah di dompet dan menukarnya dengan novel yang tergolong tebal ini.
****
Sosok Fahri bukan sesuatu yang baru kan? Mungkin di antara kalian-termasuk aku-langsung membayangkan wajah Fedi Nuril ketika nama itu disebutkan. Kesuksesan novel ayat-ayat cintanya Kang Abik waktu itu memang sudah sampai pada tahap difilmkan. Menjadi film yang ditonton jutaan pasang mata masyarakat lokal bahkan internasional. Mereka yang tak suka membaca jadi ikut mengenal Fahri melalui layar lebar. Maka, sangat wajar jika nanti bayangan wajah Fedi Nuril akan menemani kalian selama proses menuntaskan 700 ratus halaman novel ayat-ayat cinta 2 ini.
****
Fahri kembali menjadi tokoh utama dalam novel ayat-ayat cinta 2 ini. Sejak awal, Fahri sudah diceritakan sebagai tokoh yang bersedia menempuh kehidupan jauh dari tanah kelahiran demi satu kata: Pendidikan. Usai merampungkan pendidikan sarjananya di Universitas Al Azhar Kairo di Mesir, atas permintaan Aisha, Fahri melanjutkan gelar masternya di Pakistan dan mengambil beasiswa Ph.D-nya di Universitas Freiburg. Sementara Aisha sendiri menyelesaikan S1-nya, yang sempat tertunda, di Freiburg bidang psikologi sosial. Setelah dua tahun di Freiburg, mereka berkeliling UK dan singgah ke Edinburgh. Tujuan mereka awalnya untuk mengembangkan bisnis di UK. Namun siapa sangka, di Edinburgh mereka bertemu Alicia yang sedang S2 di sana. Inilah awal mula kisah sedih perjalanan hidup Fahri dimulai.
Perjumpaan dengan Alicia di Edinburgh, berujung pada kesepakatan untuk berkunjung ke Palestina. Aisha antusias karena dilatarbelakangi keinginannya menulis novel tentang anak-anak Palestina. Kesibukan Fahri pada tesis Ph.Dnya saat itu mengharuskan ia rela melepas sang istri tercinta pergi bersama Alicia.
Firasat kadang tak keliru. Perasaan rindu yang sudah menggelayut bahkan sebelum Aisha pergi meninggalkan bandara, juga cincin pernikahan yang sengaja dilepas Aisha sebelum terbang ke Palestina, di kemudian hari disadari Fahri sebagai pertanda akan ditinggalkan Aisha dalam kurun waktu yang sangat lama.
Hari itu, di Bandara Munchen, adalah terakhir kali Fahri melihat wajah Aisha. Aisha kemudian hilang dari kehidupannya. Tak jelas keberadaanya. Hidupkah? Atau sudah meninggal kah? Tak ada yang tahu persisnya. Fahri sudah mencari informasi kemana-mana, hingga nekat mengunjungi Palestina. Namun, Aisha tak kunjung ditemukan. Kabar terakhir yang ia terima, Alicia-yang pergi bersama Aisha-ditemukan tewas mengenaskan di Palestina. Semua orang pasrah berasumsi bahwa nasib Aisha tak jauh berbeda dengan Alicia. Namun Fahri tetap condong pada kemungkinan bahwa Aisha masih hidup. Ia rajin mengirim email pada Aisha, meski tak mendapat satu pun balasan.
Jadilah Fahri hidup merana di Edinburgh. Tanpa istri. Ia menyibukkan diri dengan riset untuk program postdocnya. Kesibukan itu ia jadikan sebagai pengalihan rasa sedih. Meski tak dapat dipungkiri, Paman Hulusi si asisten rumah tangga setia yang sudah dianggap keluarga, beberapa kali mendapati Fahri mengigau bahkan menangis karena Aisha.
Di Edinburgh, Fahri membeli sebuah rumah di Stoneyhill Grove. Di sana, Fahri mengenal para tetangga dengan segala keunikannya. Brenda, seorang wanita ramah yang pada suatu malam diturunkan paksa dari taksi dalam kondisi mabuk. Nenek Catarina, seorang yahudi taat yang sudah sakit-sakitan karena usia. Di suatu kesempatan Fahri membantunya memperoleh kembali rumah yang diambil alih oleh anaknya sendiri. Nyonya Janet, ibu dari dua orang anak-Jason dan Keira-yang hidup sebagai single parent. Beberapa kali Fahri mendengar pertengkaran antara ibu dan anak itu. Keira adalah gadis pemain biola berbakat yang menjadi arogan karena tak bisa kuliah di sekolah musik paling prestisius, Yehudi Menuhin School. Sementara Jason, anak laki-laki yang tertangkap kamera CCTV sedang mencuri cokelat di minimarket milik Fahri, sangat berbakat dalam bermain sepak bola. Baik Jason maupun Keira, keduanya selalu menatap sinis ke arah Fahri. Ada kebencian yang berusaha mereka tunjukkan. Fahri mencoba memaklumi. Mengenal baik tetangga di negara maju adalah sesuatu yang boleh dikatakan langka. Namun Fahri tetap berusaha menjadi tetangga yang baik sebagaimana Baginda Rasul ajarkan.
Kehidupannya yang tak diam di rumah, juga mempertemukan Fahri dengan banyak orang. Ada banyak peristiwa yang dia alami di luar rumah. Bertemu Heba, gadis keturunan Arab yang merupakan putri Tuan Taher. Heba menemui Fahri karena percaya Fahri sangat kompeten dalam menjawab pertanyaan kedua teman nonmuslimnya tentang islam. Misbah, teman serumah Fahri dulu saat di Kairo, sedang dilema dengan studinya yang nyaris putus karena biaya. Adapula Sabina, pengemis wanita buruk rupa yang menjadi sorotan karena jilbab yang mencirikannya sebagai seorang muslim. Hal ini semakin menggerakkan hati Fahri untuk memperbaiki citra islam di Edinburgh. Fahri memutuskan untuk meminta Sabina tinggal di rumahnya sebagai tindakan menolong sesama muslim yang sedang kesusahan. Belum lagi Baruch, Nyonya Suzan, Madam Verenka, Ozan dan Claire, Profesor Charlotte, Brother Mosa, dan tokoh lainnya. Masing-masing membawa dampak tersendiri bagi kehidupan Fahri.
Ujian cinta Fahri pada Aisha datang silih berganti. Dalam usahanya untuk tetap setia pada Aisha yang mungkin masih hidup, tawaran menikah terus datang dari sahabat dan kerabat yang merasa kasihan atas kesendirian Fahri. Pilihan tersulit datang dari dua wanita. Wanita pertama bernama Yasmin. Fahri sulit memutuskan menerima atau tidak tawaran untuk menikahinya. Karena Yasmin adalah cucu dari Syaikh Utsman, guru Fahri saat di Kairo. Fahri merasa tak enak menolak tawaran Syaikh Utsman yang sudah menempuh perjalanan jauh untuk sampai menemuinya ke Edinburgh. Wanita kedua adalah Hulya. Wanita ini mirip sekali dengan Aisha, bahkan dalam hal bermain biola. Hulya adalah sepupu Aisha. Fahri khawatir bila Hulya menikah dengannya akan terzalimi karena dirinya seperti melihat Aisha. Sementara keluarga Hulya, termasuk Ozan dan Claire, terus mendesak agar segera memilih Hulya sebagai pengganti Aisha. Fahri semakin bingung. Namun pada akhirnya takdir membimbing Fahri untuk memilih.
Keputusan telah diambil Fahri, kini tinggal menjalani. Tidak ada yang tahu akan seperti apa takdir di masa depan. Bersama pendamping barunya, Fahri mengarungi waktu, mencoba menyibak misteri takdir itu. Tak terkecuali misteri keberadaan Aisha yang telah lama tiada kabarnya. Memilih menikah lagi tak lantas membuat Fahri abai pada kemungkinan Aisha masih hidup.
****
Bedanya dengan Ayat-Ayat Cinta 1?
Tuntas membaca 700 halaman dari mulai testimoni pembaca hingga profil penulis novel ayat-ayat cinta 2 ini, aku langsung terkenang kisah Fahri dalam novel ayat-ayat cinta 1. Bagiku, ada hal-hal berbeda dalam penulisan kisah Fahri di novel ini. Kemudian terpikir untuk menulis beberapa ulasan perbandingan untuk novel yang kini menjadi dwilogi itu. Ulasan ini dimaksudkan untuk mengingat kembali novel ayat-ayat cinta sepuluh tahun silam, sekaligus membandingkannya dengan novel lanjutannya ini– ayat-ayat cinta 2. Mari simak satu persatu.
1. Setting Tempat
Jika dahulu –dalam novel ayat-ayat cinta seri pertama- Kang Abik lugas mendeskripsikan Mesir dan sungai nilnya, lain halnya dengan Ayat-ayat cinta 2. Kang Abik, dengan kelugasan yang sama, detail menjelaskan kondisi tempat yang di kunjungi Fahri di Britania Raya. Jika kalian menyimpan tanda tanya besar mengenai bagaimana sang penulis bisa menulis dengan detail apa-apa yang ada di negeri nun jauh dari tanah kelahirannya, silakan baca biografi singkat penulis yang selalu disertakan dalam setiap novelnya. Tidak terkecuali dalam novel ini. Riset penulisan novel ayat-ayat cinta 2 ini boleh dikatakan sangat total. Karena ternyata, beberapa bagiannya ditulis langsung saat Kang Abik sedang berkeliling dakwah di Britania Raya. Itulah sebabnya, novel ini tidak miskin diksi dalam meggambarkan situasi. Apa sekarang sudah paham bahwa menulis bukan sekadar pekerjaan di pojokan kamar? #eh
2. Tema
Sebagai penulis dengan latar belakang pendidikan agama islam yang matang, tak mengherankan jika setiap tulisan Habiburahman El Shirazy sangat kental dengan tema-tema bernuansa islam. Berbeda dengan novel ayat-ayat cinta 1 yang bersetting di Mesir dengan muslim sebagai penduduk mayoritas, novel kelanjutannya ini-seperti yang sudah saya katakan sebelumnya- bersetting di Britania Raya. Negeri ini juga memiliki penduduk muslim, namun sebagai kaum minoritas. Maka tema Islamofobia dan toleransi antarumat beragama sangat menonjol dalam novel ayat-ayat cinta 2 ini. Tema ini bukan hal baru dalam kisah-kisah yang bersetting di negara muslim minoritas. Ingat film Indonesia berjudul 99 cahaya di langit Eropa atau film India berjudul My name is Khan? Situasi diskriminasi kaum nonmuslim terhadap muslim dalam film tersebut bisa dibilang serupa dengan novel ayat-ayat cinta 2 ini. Namun menurutku, Kang Abik dalam novel ini tidak melulu menceritakan sikap diskriminatif kaum nonmuslim saja. Bahwa kita umat muslim pun sebenarnya kadang semacam fobia atau anti sekali dengan penganut agama lain. Novel ini lahir sebagai buah pemikiran yang adil. Kemunculan islamofobia juga sikap anti-nonmuslim sesungguhnya adalah akibat kesalahan pola pikir juga kemiskinan wawasan para pemeluk agama. Lewat tokoh Fahri, Kang Abik mencoba meluruskan kekeliruan itu.
Meski tulisannya dalam novel ini sangat toleransi dengan pemeluk agama lain, Kang Abik tidak melupakan batasan toleransi itu sendiri. Seringkali, toleransi disalahartikan dengan menyamakan semua agama atau bahkan meniadakan agama. Hal tersebut sungguh keliru. Tetap ada yang tidak bisa ditawar mengenai urusan agama. Atmosfir batasan toleransi ini akan sangat terasa saat kalian membaca bagian cerita Fahri yang terlibat dalam acara diskusi tentang amalek di gedung kuno School of Divinity atau acara debat di Oxford Union. Bagian ini sangat menarik, sangat menambah wawasan agama.
Ada sebuah kutipan kalimat yang diucapkan Fahri dalam debat di Oxford Union yang cukup menarik untuk disertakan dalam resensi ini:
“Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu adalah membangun kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligius-religiusnya, dan sedekat-dekatnya mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu mereka hendaknya beragama secara dewasa dan memandang agama orang lain juga secara dewasa. dari situ akan tercita toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun!”- hal 574.
3. Sudut Pandang
Setiap penulis punya cara menempatkan dirinya dalam cerita. Pada dua novel berkelanjutannya ini, Kang Abik menggunakan dua sudut pandang yang berbeda. Dalam novel ayat-ayat cinta 1, Kang Abik menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama atau menjadi Aku (Fahri) dalam cerita. Kita sebagai pembaca akan dibuat merasa sedang berperan sebagai Fahri ketika membacanya. Sedangkan pada novel ayat-ayat cinta 2, Kang Abik menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dengan sudut pandang tersebut, Kang Abik bisa lebih leluasa menggambarkan situasi apapun tanpa harus terikat oleh satu tokoh/tokoh utama. Sehingga memungkinkan untuk tetap mampu bercerita apapun, meski tidak melibatkan tokoh Fahri. Dengan demikian, kita tidak lagi dibuat merasa menjadi seorang Fahri yang mengagumkan tapi justru melihat Fahri sebagai seseorang yang mengagumkan.
4. Alur
Secara umum, alur yang dipakai dalam novel ayat-ayat cinta 1 maupun 2 adalah sama, yaitu alur maju. Yang menjadi pembeda adalah potongan episode kehidupan Fahri. Dalam novel ayat-ayat cinta 1, Kang Abik menceritakan kisah hidup sejak Fahri berstatus lajang hingga menemukan pendamping hidupnya. Sementara dalam novel ayat-ayat cinta 2, Kang abik menceritakan kelanjutan hidup Fahri setelah menikah, mengalami kehilangan istrinya hingga menemukan lagi pendamping hidupnya. Setelah membaca tuntas novel ayat-ayat cinta 1 dan 2, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat kesamaan jalan cerita keduanya, yakni perjalanan Fahri menemukan cinta sejatinya. Bingung tentang siapa cinta sejatinya? silakan baca novel ayat-ayat cinta 2! #promosi lagi -___-
5. Penokohan Tokoh Utama
Tokoh yang menjadi poros utama cerita dalam dwilogi novel ayat-ayat cinta ini adalah Fahri. Tidak ada yang berubah dengan karakter Fahri dalam novel terbitan tahun 2004 silam dan novel terbitan tahun 2015 ini. Fahri tetap digambarkan sebagai tokoh yang sangat ideal. Karakternya dapat dikatakan mendekati karakter Rasulullah. Pemahaman tentang islamnya, sikap terhadap tetangganya, toleransinya pada penganut agama yang berbeda, hampir semuanya sempurna. Mungkin sebagian besar pembaca akan protes tentang kemustahilan adanya sosok Fahri dalam dunia nyata. Di sini, saya mencoba menambahkan pemahaman bahwa semua sah dalam penulisan karya fiksi. Kelogisan cerita yang pada akhirnya membuat suatu karya diterima bahkan digemari pembaca. Meski mungkin dianggap sulit menemukan tokoh Fahri dalam dunia nyata. Tapi kita semua tentu tidak mengabaikan bahwa bertahun-tahun yang lalu, telah diciptakan manusia ideal itu. Kita sebagai muslim sepakat bahwa manusia itu adalah Rasulullah SAW. Mengenai tokoh Fahri yang kemudian lahir dalam tulisan Kang Abik, anggaplah sebagai bentuk kerinduan kita sebagai muslim tentang kehadiran manusia yang akhlaknya sungguh meneladani Rasulullah. Bukan tidak mungkin untuk selanjutnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai salah satu media dakwah seorang Habiburahman El Shirazy. Oleh karenanya, terimalah tokoh Fahri sebagai tokoh yang se-mengagumkan itu.
****
Cela yang Berhasil Kutemui…
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, bukan? Demikian halnya dengan novel Ayat-ayat cinta 2. Selama membacanya, aku menemukan beberapa kekurangan yang mengharuskanku untuk menulis paragraf tentang kekurangan novel ini.
Pertama, Typo everywhere. Dua kata tersebut tidak bermaksud untuk melebih-lebihkan kesalahan pengetikan dalam novel ini. Hanya saja, untuk novel sekelas ayat-ayat cinta2 - yang meneruskan cerita Fahri setelah sekitar sepuluh tahun berlalu dan sudah tentu akan sangat digandrungi siapapun yang menyukai Fahri dalam diksi - kesalahan pengetikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Pembaca sudah dibuat terkagum sejak mengetahui ketebalan novel ini, ditambah lagi dengan logo best seller yang ikut mewarnai covernya setelah cetak beberapa kali. Sudah tentu, kesalahan pengetikan tidak layak lagi untuk ada dalam novel ini. Ada cukup banyak typo dalam novel ini. Namun yang paling kentara adalah keberadaan huruf M yang menggantikan huruf R pada nama si tokoh utama. Nama ‘Fahri’ dalam novel ini beberapa kali kutemukan mengalami kesalahan ketik menjadi ‘Fahmi’. Awal menjumpai kesalahan ketik ini membuatku berpikir barangkali diriku yang melewatkan beberapa paragraf sehingga tak sadar bahwa ada tokoh ‘Fahmi’ dalam cerita. Ini cukup menjadi alasan untukku mengulangi beberapa paragraf di belakang nama itu, guna memastikan ada tidaknya tokoh ‘Fahmi’. Tapi ternyata ini murni kesalahan ketik. Tidak pernah ada tokoh ‘Fahmi’ dalam novel ini.
Kedua, Paman Hulusi menjadi terkesan tidak sopan akibat tidak menyertakan embel-embel ‘Hoca’ di depan nama Fahri dan ‘Hanem’di belakang nama Aisha, saat ia bercerita pada Misbah dan Heba. Ini sangat terasa pada halaman 120. Sebelum sampai pada halaman ini, Paman Hulusi tidak pernah mengabaikan sebutan ‘Hoca’ maupun ‘Hanem’ bila menyebut nama kedua majikannya itu. Namun di halaman ini, Paman Hulusi seperti lepas kendali. Entah mungkin memang dimaksudkan untuk menggambarkan betapa asyiknya Paman Hulusi bercerita sehingga mengabaikan kosa-katanya, atau ini bagian dari kekhilafan sang editor dalam memerhatikan kata perkatanya. Biarkan sang editor yang menjawab :D
Ketiga, Pada awal bab 18 ada kalimat yang seharusnya diucapkan oleh dua orang, yakni Fahri dan Paman Hulusi, malah tergabung menjadi satu. Tidak terpisahkan oleh tanda petik baru. Seolah-olah diucapkan oleh Paman Hulusi saja. Menjadi lucu, karena Paman Hulusi seperti bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. Berikut kutipan kalimat yang saya maksud:
“Jadi kita diam saja tidak melakukan apa-apa atas penghinaan itu? Itu mereka menyindir kita, Hoca. Kita pasti melakukan sesuatu, Paman. Tapi bukan sesuatu yang bodoh seperti yang mereka harapkan” – Hal 261
Keempat, ada satu kalimat Fahri yang membuatku mengernyitkan dahi. Fahri yang digambarkan demikian sempurnanya, akhirnya cukup membuatku kecewa karena kalimat yang diucapkannya pada saat berbicara dengan brother Mosa. Aku masih sedikit aneh dengan kalimat Fahri sebagai respon ketika Brother Mosa mengatakan bahwa ia banyak tahu cerita dari Paman Hulusi tentang Fahri yang memilih hidup sendiri.
“Lelaki tua itu memang tidak bisa menjaga mulut”-hal 324
Bagiku, kalimat itu seperti kalimat yang diucapkan seorang pembenci. Sangat bertentangan dengan karakter baik Fahri yang sudah dibangun sejak awal.
Kelima, Tokoh Hulya. Aku tidak tahu persis, apakah hanya diriku yang tidak menyukai penokohan Hulya di awal-awal kemunculannya. Sejak pertama digambarkan sebagai seorang gadis berjilbab sepupunya Aisha, aku punya ekspektasi bahwa gadis ini seanggun Aisha dalam bersikap. Tapi ketika Hulya meminta izin untuk tinggal di rumah Fahri, atau ketika dengan berani mengulangi secara lisan pertanyaannya yang tidak dijawab Fahri melalui SMS, atau ketika Hulya membisikkan kalimat berikut pada Fahri usai acara debat di Oxford Union:
“Seandainya sudah halal, pasti kau aku beri hadiah ciuman di hadapan semua hadirin di ruangan ini. Kau sangat membanggakan!” – Hal 585
Semua sikap Hulya tersebut membuatku kurang menyukai setiap interaksinya dengan Fahri. Ditambah lagi, sikap keluarga Hulya yang berusaha menjodohkan Hulya dan Fahri saat di perjalanan menuju St. Andrews yang menurutku tidak islami. Bukankah sejak awal penulis sangat menjaga perkara percintaan Fahri. Menurutku, tidak pantas sekali cara keluarga Hulya yang memaksakan Hulya duduk mendampingi Fahri menyetir, meminta Hulya menyuapkan pisang saat Fahri fokus dengan kemudinya, atau gurauan-gurauan yang memaksa menjodohkan mereka berdua. Untuk Hulya yang saat itu bukan siapa-siapa Fahri, bagian-bagian cerita ini membuat kesan seolah-olah keluarga Hulya bukan keluarga yang religius dan tidak pantas untuk Fahri yang demikian sempurnanya.
Keenam, Saya hanya merasa sangat janggal dengan alasan Sabina yang menyembunyikan rahasia hidupnya. Sungguh, saya masih merasa aneh dengan alasan yang ia kemukakan di akhir cerita. Bukan karena tidak bisa diterima akal sehat, hanya terkesan sedikit memaksa agar tercipta alur cerita. Tapi, bukankah semuanya menjadi sah-sah saja dalam tulisan fiksi selama masih bisa diterima akal sehat? Ya, itulah mengapa kejanggalan itu menjadi hak pribadiku saja. Ide cerita adalah hak penuh sang penulis.
Nah, dari keenam poin yang menurutku mengurangi kesempurnaan buku ini, poin pertama hingga ketiga adalah masalah editing. Semoga resensi ini, bisa menyadarkan sang editor bahwa ada pembaca yang peduli dengan pekerjaannya. Hehe… Kami memaklumimu sebagai manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Semoga lebih teliti di kemudian hari. Sementara untuk poin selnjutnya, kurasa hanya masalah sudut pandang pembaca. Jadi tidak perlu untuk diperdebatkan jika ternyata pendapatku berseberangan dengan kalian.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, enam poin kekurangan di atas tidak boleh dijadikan alasan untuk membatalkanmu memiliki novel ini. Sungguh, kekurangan yang dalam resensi ini tidak menjadikan novel ini masuk dalam kategori ‘jelek’. Kutegaskan lagi: Novel ini nyaris sempurna! Ini novel bergizi! Tidak mengherankan jika dalam satu bulan pertama novel ini sudah masuk cetakan ke sepuluh. Bahkan, dalam acara bedah buku dan lelang di pengajian KJRI Los Angeles, tujuh eksemplar novel ini laku masing-masing 100 dollar Amerika serikat. Kita hanya perlu menunggu cerita Fahri dalam Ayat-ayat cinta 2 diangkat ke layar lebar. Kabarnya, novel ini sudah dilirik MD Entertainment untuk difilmkan. Bukankah akan sangat membanggakan jika kita sudah tahu ceritanya -karena membaca-bahkan sebelum filmnya dirilis?
Jika kau mau tahu bagaimana analogi pohon apel bisa menjelaskan perihal bom bunuh diri. Atau kau mau tahu cara tetap bersikap baik pada orang yang bahkan mengatakan bahwa dirimu seorang monster. Atau ingin tahu kenapa zionis Israel gencar sekali menyerang Palestina. Atau penasaran dengan amalek. Atau kau sungguh haus akan ilmu agama islam namun bosan dengan buku-buku bergenre nonfiksi. Maka, novel ayat-ayat cinta 2 karangan Habiburrahman El Shirozy adalah jawabannya.
****
Puas bercerita tentang kelebihan novel yang tak terbilang jumlahnya, juga memaparkan sedikit kekurangannya. Maka akan saya lengkapi resensi ini dengan sebuah saran.
“Siapa pun anda yang sudah tahu bahkan hapal setiap detail cerita dalam novel ini, Ketika sudah tak sabar ingin berbagi ceritanya secara lisan maupun tulisan dengan orang lain yang ingin ikut membaca, Jangan sekali-kali memberitahu rahasia Sabina. Sungguh ini penting agar calon pembaca tidak merasa hambar dan merasa mampu menebak endingnya. Padahal karena efek sudah mendengar ceritanya dari anda. Ketidaktahuan pembaca sungguh penting untuk membangun rasa penasaran -yang penting untuk menahan pembaca- menyelesaikan lembar demi lembar novel ini. So, jaga baik-baik rahasia Sabina.”
- S E L A M A T M E M B A C A-
Resensinya menarik mba, kelebihan dan kekurangan dlm novel juga sepemikiran saya (^^)//
BalasHapusSalam kenal yha..
wah, terima kasih udah nyempetin baca :) salam kenal juga mbak.
Hapus