Siapapun tahu jenis minuman yang biasa disebut Teh. Balita sampai kakek nenek, takkan butuh kamus besar sekadar mendeskripsikan apa Itu teh. Semudah menyebutkan kata TEH, semudah itu pula menemukannya di rumah-rumah, di warung-warung, di pasar, hingga di kebunnya langsung. Bahkan sekadar untuk mendapatkan teh secara cuma-cuma cukup dengan pura-pura bertamu ke sebuah rumah, niscaya segelas teh akan disuguhkan kepadamu. Perkara lain, si teh ini juga kadang digunakan sebagai teknik marketing bidang kuliner. Pernah dengar: "makan di sini, gratis teh manis" atau "Apa pun makanannya, minumnya teh botol s*sr*"? Ah, semudah itu. Semudah itu untuk membuat lidahmu berkenalan dengan teh. Mungkin itu juga sebab kenapa aku tidak tertarik sama sekali pada teh. Sesuatu yang mudah sekali diperoleh tanpa perjuangan berdarah-darah kadang menjadi tak menarik lagi. LOL (nggak ada hubungannya).
Tapi serius. Mau dihadiahkan teh satu kolam, setetes pun takkan kusentuh. Mau disajikan dalam variasi apa pun, entah teh botol, teh kotak, teh kaleng, teh celup, teh tubruk, teh susu, teh dingin, teh panas, permen teh, apapun tentang teh, dengan sangat lantang akan kutolak. Aku menyebut diriku anti-teh Bukan tanpa alasan. Aku takkan membenci sesuatu tanpa mengenalnya lebih dulu.
Di usia kanak-kanak, aku terbiasa sarapan dengan teh sebagai sandingannya. Ibuku penggemar teh. Fanatik sekali malah. So, di usia segitu, tak mungkin bagiku mengawali hari tanpa secangkir teh. Sampai tiba di suatu masa, kisaran kelas empat SD, aku menjelma menjadi gadis kecil yang merepotkan. Gadis kecil ringkih, yang rentan sekali ke dokter dan minum obat. Bisa dipastikan, satu bulan sekali namaku akan mengisi daftar pasien di rumah praktek dokter atau rumah sakit daerah. Si dokter sampai paham sekali dengan wajahku, karena setiap kali berkunjung, si dokter akan menyapaku dengan sapaan "kenapa lagi, tan?"
Lalu apa hubungannya dengan teh?
Ya, keseringan minum obat dan minum teh dalam selang waktu yang tidak berjauhan, membuatku muak dan menyamakan rasa keduanya. Tahu rasa dan aroma obat maag? Nah, begitulah rasa teh dalam pandanganku sekarang. Teman-teman sering tertawa mendengar penjelasanku ini. Tapi mau bagaimana lagi? Demi menjelaskan bahwa aku tak bermaksud berprilaku tak sopan karena menolak jamuan teh yang mereka suguhkan, sejarah ini akan kuceritakan berulang tiap kali ada yang menanyaiku "kok tehnya nggak diminum?".
Secara psikis, aroma teh seperti menyibak masa kelam kehidupanku yang penuh dengan tatapan kasihan. Maksudnya? Ya, sebagai gadis kecil yang pesakitan, sering sekali aku menerima perlakuan yang menunjukkan bahwa orang-orang prihatin terhadap kondisi tubuhku yang lemah. Mendapat dispensasi piket kelas, tidak ditawari mondok (padahal dulu sangat ingin jadi santri), dispensasi olahraga, tidak diperkenankan main jauh dari rumah, tak mendapat izin kegiatan lapangan, apapun yang sifatnya menuntut kerja fisik, tidak diperbolehkan. Bagiku, kekhawatiran mereka tak lebih dari labeling manusia lemah untuk diriku sendiri. Aku yang tak ingin lebih jauh merepotkan, pada akhirnya memilih sepakat dengan larangan-larangan itu. Lebih baik tidak melakukan apapun, daripada setelahnya aku harus melihat orang tuaku kerepotan membawaku ke tempat pengobatan sana-sini. Di sisi lain, aku pernah izin tak masuk sekolah nyaris dua bulan karena sakit. Efeknya, prestasi bergeser jauh. Aku yang ambisius ketika itu, merasa hancur mendapati fakta peringkatku menurun hanya karena faktor ketidakhadiran.
Mulai kelas sebelas sekolah menengah atas, fisikku sudah jauh lebih kebal penyakit. Mungkin keseringan sakit, membuat tubuhku banyak membentuk antibodi sehingga ketahanan tubuhku jauh lebih baik. Tapi tersisa traumatik pada satu jenis minuman akibat masa-masa itu. Aku menjadi anti teh dalam bentuk apapun. Tidak peduli orang-orang mengagung-agungkan kenikmatan dan kesegaran meminum segelas teh, tidak peduli tawaran minum teh itu diskon atau gratis, bagiku teh tetap saja teh: Rasa obat dan mengandung kenangan buruk.
Komentar
Posting Komentar