Langsung ke konten utama

((Review)) Critical Eleven

Hasil gambar untuk critical eleven


Seberapa lucu takdir menurutmu, sehingga terkadang kamu  merasa perlu tertawa atas keberadaan orang-orang di sisimu –yang disebabkan olehnya– sekarang ? Atau seberapa sering kamu berjumpa dengan seseorang secara tak sengaja, lalu ternyata di kemudian hari ia menjadi orang terpenting dalam hidupmu? Seberapa klise menurutmu kisah cinta yang berawal dari istilah meet cute dalam rumusan dasar romantic comedy Hollywood, yakni ketika tokoh utama perempuan dan tokoh utama laki-laki bertemu tidak sengaja di satu kejadian, untuk diangkat sebagai pondasi cerita dalam sebuah novel? Klise? Membosankan? Mudah ditebak? Nanti dulu komentarnya. Melalui Critical Eleven, izinkan seorang Ika Natassa membuatmu tetap betah mengikuti ceritanya meski ia membangun cerita dari peristiwa se-klise meet cute itu.
****
SINOPSIS
Tanya Baskoro,  atau Anya, seorang wanita berusia 28 tahun, berprofesi sebagai management consultant di Jakarta, biasa terbang ke berbagai kota dan negara untuk menemui kliennya. Meski begitu, Anya mengaku suka bandara, tapi tidak suka terbang. Baginya, saat kita dalam penerbangan berarti kita sedang memercayakan hidup kita pada orang lain.
“Menjadi penumpang pesawat itu sebenarnya sama dengan menjadi kucing schrodinger yang pasrah di dalam kotak berisi kapsul sianida. Dan sampai era ketika sudah ada wifi di pesawat, orang-orang di luar sana juga tidak tahu kabar kita bagaimana sampai mendarat nanti. In the hours that we’re still on the plane –sama  dengan satu jam si kucing terkurung dalam kotak–people are left with a paradox 50-50 chance that we still live on board. Memercayakan nasib di tangan pilot. Di tangan orang lain. I hate that” (Anya, hal. 7)
Aldebaran Risjad, atau Ale, seorang pria usia 30an bekerja sebagai offshore operation engineer di Teluk Meksiko – sebuah profesi bidang engineering yang biasa diplesetkan sebagai tukang minyak. Terbiasa menjalani kehidupan di Rig, tempat pengeboran minyak lepas pantai, jauh dari keluarga, jauh dari mana-mana.
“My life, Nya. Dua ratus hari dalam setahun, in the middle of nowhere, nggak ada konser, nggak ada bioskop, cuma dinding besi dan laut.” (Ale, hal. 12)
Ale dan Anya bertemu secara tidak sengaja dalam sebuah penerbangan Jakarta-Sydney. Kursi mereka kebetulan bersebelahan. Mulanya, keduanya canggung untuk saling sapa. Tapi akibat tragedi memalukan Anya yang tertidur di bahu Ale, akhirnya mereka mengobrol dengan topik ke mana-mana. Mulai dari bisa dan tidak bisanya tidur dalam pesawat, alasan penerbangan mereka, pandangan suka dan tidak suka terhadap Jakarta, tentang toko buku, hingga pada detik tertentu pipi mereka sama-sama memerah saat menyadari tatapan mereka bertemu. Informasi mengenai landing pesawat ketika itu menjadi menit-menit Ale menyadari bahwa ia perlu bertemu dengan Anya kembali suatu waktu. Ale memberanikan diri meminta nomor telepon Anya. Ini titik mula kelanjutan cerita mereka.
“Dalam dunia penerbangan, ada yang namanya critical eleven. Sebelas menit yang paling kritis di dalam pesawat, yakni tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing… secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pada umumnya terjadi dalam rentang waktu critical eleven ini, It’s when the aircraft  is most vulnerable to any danger. In a way,I think it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama saat bertemu seseorang itu kritis sifatnya dari kesan pertama, right? Senyumnya, gesture-nya, our take on their physical appearance. Semua terjadi dalam tiga menit pertama. And then there’s the last eight minutes before you part with someone. Senyumnya, tindak tanduknya, ekspresi wajahnya, tanda-tanda apakah akhir pertemuan itu akan menjadi “andai kita punya waktu bareng lebih lama lagi” atau justru menjadi perpisahan yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi.” (hal. 16)
Hanya butuh waktu sekitar setahun bagi Ale dan Anya berpacaran untuk mengambil sebuah keputusan yang, menurut orang-orang selain mereka, sangat berani: menikah. Untuk Anya  terutama, banyak yang meragukan ketahanan mereka membangun rumah tangga mengingat pekerjaan Ale yang akan menyebabkan banyak hari terlewati dengan saling berjauhan.  Dan memang itu tidak mudah. Anya harus rela berbagi Ale dengan pekerjaannya 50:50, Siklus pertemuan mereka mau tidak mau mengikuti siklus pekerjaan Ale: lima minggu menetap di Teluk Meksiko, lalu break lima minggu untuk bertemu di Jakarta. Begitu terus. Tidak ada fasilitas komunikasi bila Ale sedang di tengah laut. Sehingga Anya dengan sabar menunggu Ale menghubungi ketika sedang di kantor.
Ale yang melamar Anya di mobil saat perjalanan menuju Bandara di suatu pagi buta, Ale yang pandai membuat kopi untuk Anya si pecinta kopi, Ale si Lip monster, Ale yang… Ah, apa pun tentang Ale selalu berhasil membuat Anya jatuh cinta berkali-kali. Cara Ale mencintai Anya yang begitu besar, membuat jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah. Bahkan banyak yang mengaku kagum dengan mereka berdua yang sanggup bertahan saat harus LDRan.
“Ale punya caranya sendiri untuk mencintaiku. Dia ada, bahkan ketika dia tidak ada. Dan jika dengan segala kekurangannya dan keterbatasan kami –keterbatasan waktu, geografis, you name it –Ale mampu membuatku  merasa dicintai sebesar ini, kenapa aku harus mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya?” (Anya, hal. 36)
Seharusnya semua baik-baik saja, apalagi setelah mendengar kabar kehamilan Anya, kebahagiaan keduanya sebagai suami-istri semakin lengkap. Tapi entah apa sebab pastinya, hari dimana kebahagiaan Ale dan Anya direnggut akhirnya tiba. Ketika suatu hari Anya mengabarkan pada Ale bahwa ia tak lagi merasakan bayinya menendang dalam perut seperti biasanya. Anya panik dan memutuskan periksa ke dokter. Apa yang mereka khawatirkan terjadi. Detak jantung bayi itu berhenti sudah sejak di dalam kandungan. Anya melahirkan dengan kondisi bayi yang sudah meninggal. Tak bisa digambarkan kesedihan yang melanda batin keduanya di hari itu.
Dua minggu dalam masa berduka mereka, saat seharusnya mereka mulai berpikir untuk bersama-sama melangkah ke depan,  justru tercetus masalah baru. Entah apa mulanya. Terjadi begitu saja. Obrolan santai mereka sambil menikmati spageti tiba-tiba berubah menjadi sebuah pertikaian
“Mungkin kalau dulu kamu nggak terlalu sibuk, Aidan masih hidup, Nya”  (Ale, hal. 81)
sebaris kalimat dengan nada biasa saja dari Ale, ditafsirkan Anya sebagai tuduhan bahwa Anya yang membunuh Aidan –bayi mereka. Kalimat yang membuat Anya memikirkan ulang atas pilihannya menghabiskan hidup bersama Ale. Anya ingin mereka pisah kamar sementara untuk memberikannya jeda berpikir akan ke mana pernikahan mereka berujung. Ale sungguh menyesal atas ucapannya. Ia menerima perlakuan  Anya padanya. Sebagai wanita berkelas, Anya tak pernah memaki-maki Ale jika marah. Anya memperlakukannya seperti orang asing. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi Ale. Sebagai laki-laki yang amat mencintai Anya, Ale selalu berjanji dalam hatinya bahwa ia tak akan melepaskan Anya apa pun keadaannya. Tapi…
Berapa waktu yang dibutuhkan Anya untuk berpikir? Berapa lama Ale harus menunggu dan terus menerima hukuman itu? Apakah keduanya sanggup mempertahankan rumah tangga mereka yang terancam kandas? Apa langkah yang harus diambil Ale untuk menebus kesalahannya? Temukan jawabannya dalam novel bersampul biru itu yaaa…
****
REVIEW (tak selesai) 
Critical eleven adalah novel ke tujuh dari seorang Ika Natassa. Terbit pertama kali tahun 2015, sekarang statusnya sudah National bestseller dan dalam proses difilmkan. Dan tahukah, pencapaian inilah yang akhirnya membuatku tertarik membeli novel critical eleven di toko buku Gramedia Bandar Lampung. Hei, tentu saja ini novel pertama dari Ika Natassa yang kubaca. Dan aku mengaku jatuh cinta. eaaaa….
Serius. Mari kita bahas beberapa hal terkait novel ini yang semoga membuatmu sepakat dengan jatuh cintaku.
Sebenarnya, tema novel ini relatif lumrah untuk kategori novel romance-dewasa. Tentang dinamika cerita cinta sepasang manusia dalam pernikahan. Tahap alurnya sederhana meetcute – pacaran –menikah –konflik –renggang –keputusan final. Biasa kan?  Tapi dijamin, kamu akan mengesampingkan kelumrahan tema itu jika sudah menikmati bab pertamanya. Paragraf-paragraf pembuka yang menyajikan pandangan berbeda tentang bandara dan pesawat terbang menurutku menjadi kekuatan untuk mempertahankan pembaca. Sejak awal pembaca sudah akan berprasangka bahwa ini novel bergizi. Dari sini aku langsung menyimpulkan, seorang Ika Natassa punya sudut pandang yang spesial dalam melihat sebuah fenomena. Bukankah itu penting untuk memperkuat karakter penulis? Alurnya juga dibuat jungkir balik alias maju mundur sehingga pembaca tidak akan dibuat bosan, bolak-balik tapi smooth, tidak membuat pusing.  Dan meski mungkin ketika membacanya kamu merasa sudah bisa menebak endingnya, tetap saja kamu akan menemukan sensasi penasaran pada potongan-potongan peristiwa tertentu, yang lagi-lagi membuatmu merasa perlu untuk terus membaca. Saat rencana sureprise ulang tahun Ale, misalnya. Itu adalah momen menebak-nebak dengan sensasi deg-degan akibat penasaran sekaligus khawatir, berprasangka buruk tapi berharap baik. Ah, pokoknya deg-degan!
Mengenai setting tempat dan suasana, mbak Ika tidak menonjolkan keistimewaan sebuah tempat melalui deskripsi secara fisik. Namun ada dua tempat yang membekas di kepalaku sebagai kata kunci ingatanku tentang novel ini suatu waktu. Yakni bandara dan pesawatnya, serta teluk meksiko dengan rignya. Kesan bandara dan pesawat mungkin dipengaruhi oleh cover dan judul novel yang memang berkaitan dengan penerbangan. Sementara setting di rig teluk meksiko disebabkan karena aku penasaran seperti apa kehidupan yang dijalani seorang Ale di tengah laut, jauh dari mana-mana. Tempat-tempat itu menjadi lekat diingatan berkat penuturan penulisnya yang piawai membangun suasana cerita yang membuat pembacanya berimajinasi sendiri.
Hal menyenangkan lainnya adalah novel ini ditulis menggunakan dua sudut pandang yakni Anya dan Ale. Sehingga deskripsi batin sepasang manusia yang sedang terjebak konflik sangat jelas. Pembaca dibiarkan memandang konflik yang terjadi melalui sudut pandang kedua tokoh, sehingga pembaca juga dibiarkan menentukan tokoh mana yang menjadi masalah tanpa keberpihakan penulis pada salah satunya. Atau justru pembaca menjadi tidak memihak tokoh mana pun, tetapi bisa mengambil sisi positif atau banyak hikmah dari cara berpikir dan bersikap tokoh Anya  maupun Ale. Sudut pandang ini pas untuk menyampaikan pembelajaran dan kedewasaan berpikir sepasang manusia dalam sebuah konflik. Aku sukaaa. Apalagi masing-masing sudut pandang mewakili bapernya seorang perempuan dan nggak pekanya laki-laki.
Salah satu unsur dalam novel yang juga sering menjadi sebab kesan mendalam bagi pembaca adalah tokoh dan penokohan. Seperti yang sudah kusebut-sebut sebelumnya, ada dua tokoh utama dalam novel ini: Ale dan Anya. Aku membayangkan tokoh Ale di dunia nyata. Karakternya sebagai seorang engineer yang cool tapi romantis, yang bisa mencintai seorang wanita meski banyak hari yang dilalui tanpanya, sudah otomatis membuat para pembaca dari jenis perempuan akan jatuh cinta. Aku salah satunya. Sementara tokoh Anya benar-benar tergambar sebagai perempuan cerdas dan berkelas. Caranya marah pada Ale tanpa tindakan memaki-maki, tanpa mendiamkan meski sedang berusaha memperlakukannya sebagai orang asing, menutupi konflik dengan Ale di depan keluarganya. Anya menjadi cantik dan anggun sekali dalam bayanganku.
Adapun gaya bahasa, penggunaan bahasa campuran Inggris-Indonesia dalam novel ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Terlebih untuk memperkuat kehidupan tokohnya yang tergolong eksekutif. Ya, Ale si engineer, Anya si management consultant, keakraban hidup mereka dengan pesawat, cukup menjadi alasan untuk menyebut mereka sebagai tokoh manusia kelas atas. Namun mungkin akan menyebabkan pembaca yang tidak terbiasa dengan bahasa inggris merasa sedikit tak nyaman. Apalagi komposisi bahasa inggris pada paragraf pembukanya relatif mendominasi. Tapi bagiku sendiri, penggunaan gaya bahasa seperti itu menjadikan novel critical eleven tergolong sebagai novel berkelas. hehe… Mengenai diksi dan kombinasinya membentuk kalimat, kemampuan penulisnya tidak perlu diragukan lagi. Tak hanya berdiksi cantik, novel ini juga dilengkapi dengan pengetahuan yang banyak dideskripsikan sebagai analogi. Keren deh pokoknya. Lalu berkaitan dengan sudut pandang, gaya bahasa menjadi berlainan setiap berganti sudut pandang. Masing-masing mencirikan karakter tokoh utamanya, Ale dan Anya, bahasa laki-laki dan perempuan.

****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?

  Judul         : Pergi Penulis       :  Tere Liye Penerbit      : Republika Penerbit Cetakan I    :April, 2018 Tebal buku  : iv+455 halaman “Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.” Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian   hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir:  “ apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong? ”. Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal