Langsung ke konten utama

Diksi Lain Tentang Tragedi Jelang Reformasi


Judul               : Hari Anjing-Anjing Menghilang

Penulis             : Umar Affiq, dkk.
Penerbit           : Diva Press
Tebal               : 312 halaman
Cetakan Ke-    : I, Mei 2017
ISBN               : 978-602-391-406-7


Tia Setiadi dalam pengantar buku ini berkata: “Ada satu hal yang tak diudar oleh tayangan televisi, tak terjamah laporan jurnalistik, tak teranalisis oleh para pakar, yakni makna. Itulah tugas sastrawan: dalam pusaran katastropi dan gebalau tragedy, dia mesti menyelam dan menukik ke kedalaman, atau meluncur dan terbang ke ketinggian demi meraih makna, sesuatu yang tak terkatakan dan berdiam di wilayah yang belum terpetakan”.
Barangkali, riwayat pendidikan yang kita tempuh sudah membuat kita hapal bahkan bosan pada sejarah Mei 1998, yang dijelaskan berulang-ulang oleh guru di depan kelas, diputar dalam film-film dokumenter, ditulis dalam buku-buku pelajaran sejarah ataupun artikel media massa maupun online. Barangkali, peristiwa setragis pemerkosaan, penjarahan, deskriminasi, atau kericuhan lain pada masa itu, tak lebih dari sekadar peninggalan kesan bahwa itulah harga sebuah reformasi.
Buku ini hadir dengan visi menyajikan peristiwa tragedi Mei 1998 dalam bentuk cerita, bukan berita. Sebagai karya fiksi, cerpen-cerpen dalam buku ini tentu ditulis dengan bumbu imajinasi, namun keberpijakan penulis pada fakta sejarah, membuat pembaca akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja terjadi dalam dunia nyata. Berbagai peristiwa diceritakan dengan cara yang tidak biasa. Siapa pula yang punya pemikiran bahwa benda mati seperti peluru dan seragam, atau hewan seperti kucing dan anjing, bahkan mahluk se-tak-kasat-mata bakteri, akan punya andil dalam memaknai sebuah tragedi?
Beberapa kisah dalam buku ini dialirkan dengan memainkan sudut pandang pencerita. Fahri Cahyono menuturkan kronologi pemerkosaan seorang aktivis kampus bermata sipit melalui jas almamaternya, dengan tetap menjaga agar si ‘almamater’ tidak menyebutkan identitasnya sendiri sebelum mendekati ending. Sementara Dhanica Rhaina, mencoba menguak kisah terbunuhnya seorang mahasiswa dalam peristiwa Mei 1998 melalui sudut pandang sebutir peluru. Lain lagi Ghyna Amanda  yang membimbing pembacanya menjadi pengamat peristiwa tragis 1998 melalui sepasang bola mata dan telinga kucing. Kepedulian yang menjadi sia-sia atas ketidakberdayaan benda mati atau hewan untuk melakukan pembelaan dalam sebuah tragedi, menjadi salah satu yang memilukan dalam cerpen-cerpen ini
Cerita yang ditulis Farahnanda tak kalah menakjubkan. Kemunculan bakteri Guvbznetnevgn eksogalaksiensis sebagai hasil gubahan dari suatu jenis bakteri menggunakan sandi Caesar A=N untuk menceritakan peristiwa Mei 1998, merupakan ide yang akan membuat pembaca berdecak kagum atas kualitas imajinasinya. Ketidaklaziman cara berceritanya yang menggelitik, tidak membuatnya lupa akan pesan moral yang ingin disampaikan.”Tahun Sembilan-delapan orang-orang keturunan cina itu nggak kehilangan apa-apa selain nyawa dan harta mereka, tapi orang-orang Indonesia itu sudah digerogoti bakteri, kehilangan kewarasan, kehilangan kemanusiaan” (hal. 237).
Cerpen berjudul Sepasang Serasah Coklat  karya Reni FZ disajikan dalam genre science fiction. Permainan dimensi waktu dalam balutan kata reinkarnasi, serta keterlibatan teknologi masa depan dan fakta-fakta ilmiah seputar iris mata, membuat sajian peristiwa sejarah reformasi menjadi tidak monoton, informatif, sekaligus menyenangkan untuk diterima pembaca dalam era teknologi seperti masa kini.
Sebagai cerita fiksi yang berpijak pada peristiwa sejarah, beberapa cerpenis lain memilih untuk memanfaatkan ingatan masa lalu sebagai cara membimbing pembaca mengenang sejarah. Ada Masagus, yang bercerita tentang mimpi tiap malam seorang kakek tua sebagai wujud rasa bersalah karena pernah menjadi pelaku kericuhan mei 1998. Mimpi menjadi media mengalirkan cerita serta menyampaikan pesan moral yang baik. Kemampuan Masagus membangun suasana konflik sepasang manusia lansia juga menjadi sesuatu yang menghibur. Konflik yang tercipta karena ingatan yang memudar oleh usia adalah sesuatu yang lucu dan realistis untuk dibayangkan oleh pembaca sebagai kisah nyata.
Serupa dengan Masagus, Yenita Anggraini dengan cerpen berjudul Napak Tilas, mencoba menguak sejarah melalui ingatan pelaku. Perbedaannya terletak pada karakter tokoh yang dipilih. Jika Masagus menggunakan sosok lelaki tua yang selalu mengigau setiap malam, Yenita menggunakan sosok pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan. Cara bercerita Yenita terbilang rapi  menutupi tokoh ‘Aku’, sehingga pembaca terus diburu penasaran dan relatif terkejut saat membaca ending ceritanya.
Adapun Dini Meiditria dengan cerpennya Menjahit Bibir Marie, Frida Kurniawati dengan cerpennya Bunga Ngarot yang Menjadi Layu, dan Umar Affiq dengan cerpennya Hari Anjing-Anjing Menghilang, memilih ingatan korban sebagai media bercerita. Berkebalikan dengan Yenita dan Masagus, mereka mengungkap sisi traumatis yang membekas dalam jiwa korban setelah peristiwa tragis itu berlalu. Cara mereka mengeksplorasi pikiran korban untuk membangun alur cerita mampu membuat pembaca terperangah.
Tidak lagi dengan permainan sudut pandang benda mati, fakta ilmiah, atau ingatan masa lalu, Alfanie Bican Mery dalam cerpen Lengsernya Paman Gober, justru bertutur dengan cara yang jujur melalui sebuah analogi. Dengan bantuan sudut pandang orang ketiga serba tahu, Alfanie dengan lincah menceritakan –sekaligus mengkritik–banyak   hal yang terjadi pada  masa jelang reformasi. “Selama Paman Gober berada di tampuk kepemimpinan, etnis angsa yang berkulit putih itu memang tidak bisa bergerak dengan bebas. Padahal para angsa juga lahir, besar, dan memiliki tanda kependudukan di kota bebek, tetapi mereka selalu dianggap berbeda(hal. 214). Pemilihan tokoh Paman Gober, Donal, Desi, Goofy, dan tokoh lain tokoh kartun berkarakter kuat lainnya adalah cara mengkritik yang menggelitik.

Buku ini ditulis oleh 16 cerpenis muda yang terseleksi melalui sebuah event lomba menulis cerpen tahunan bagi alumni kelas menulis kampus fiksi. Meski menyajikan karya fiksi, kekayaan deskripsi, teknik bercerita, serta permainan emosi  yang dilakukan penulis-penulis ini berhasil menyingkap sisi lain dari sebuah tragedi. Dari arah yang tak terduga, cerpen-cerpen ini mampu menampilkan tragedi 98 dalam banyak rupa sekaligus sarat makna. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?

  Judul         : Pergi Penulis       :  Tere Liye Penerbit      : Republika Penerbit Cetakan I    :April, 2018 Tebal buku  : iv+455 halaman “Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.” Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian   hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir:  “ apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong? ”. Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal