Judul Buku : Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis : Dwi Suwiknyo
Penerbit : Noktah
Cetakan I : Yogyakarta, 2018
Tebal buku : 260 halaman
Genre. : motivasi (religi & spiritual)
"Ada tiga tingkatan fungsi dari sebuah buku menurut Tere Liye: pertama, Menghibur dan Menemani. Kedua, memberikan manfaat. Ketiga, Menginspirasi. Dan tahukah kamu rahasianya, Ketika sebuah buku diniatkan untuk yang pertama dan dirasakan ketulusannya oleh pembaca, maka buku itu secara tidak langsung sudah mencapai tingkatan kedua dan ketiga."
Dengan sengaja saya awali review buku kali ini dengan mengutip hasil seminar kepenulisan di sebuah perguruan tinggi yang pernah saya ikuti. Ya, saya memang tidak sedang mereview bukunya Tere Liye juga kalimat pembuka review ini bukan hasil mengutip dari buku yang direview. Tapi sengaja saya gunakan untuk menggambarkan bahwa sebuah buku yang lahir dari pemikiran Dwi suwiknyo kali ini, masuk dalam kriteria buku yang dimaksudkan TereLiye tadi. Buku ini benar-benar menjadi teman bagi saya pribadi sampai-sampai menginspirasi.
Kutipan yang tertera di sampul belakang sebuah buku ini mau tak mau menjadi serupa kalimat provokasi bagi saya, yang jika ke toko buku lebih memilih beli novel untuk nambahin koleksi daripada buku-buku nonfiksi. Sebenarnya, status fresh graduate yang lagi butuh banyak gambaran soal ‘hakikat pekerjaan’ yang membuat saya menjatuhkan pilihan pada buku ini. Ya, sebagai seorang yang baru terjun ke dunia yang sesungguhnya, yang sempat mengalami masa menganggur penuh tekanan hingga mendapat pekerjaan namun penghasilan tak bisa disebut tinggi, kehadiran buku ini semacam memberikan sudut pandang lain dalam memaknai hidup. Semacam obat yang membuat rileks pikiran rumit yang dipenuhi target-target masa depan. Melalui tulisannya kali ini, seorang Dwi Suwiknyo mencoba untuk mengajak siapapun lebih bahagia menjalani peran dalam masing-masing kehidupan yang kita miliki. Satu hal yang terpikirkan setelah mengkhatamkan buku ini: “Gue nggak nyesel beli buku merah ini”. (Sebagai seorang yang hobi beli buku, kadang suka kesal sendiri bila menyelesaikan bacaan yang tidak sesuai ekspektasi. Dan untunglah, buku ini tidak memuculkan perasaan itu)
****
Keunikan Secara FisikSetelah membuka halaman isinya, kombinasi warna hitam-putih-biru juga variasi bentuk huruf-hurufnya akan memanjakan mata pembaca. Sebagai buku nonfiksi, permainan warna juga huruf menjadi pertimbangan penting untuk mempertahankan pembaca menyelesaikan buku ini. Tambahan beberapa gambar yang memperjelas kisah yang diceritakan juga menjadi daya tarik tersendiri.
****
Prolog yang NgenaBegitu membuka buku ini, setelah halaman judul dan halaman impresium (informasi seputar penerbitan buku) tanpa didahului daftar isi, pembaca langsung dihadapkan sebuah ilustrasi cerita nyata yang menurut saya sangat tepat dipilih sebagai prolog. Sebuah cerita tentang seorang yang akhirnya jatuh sakit dan perlu rawat inap setelah melewati rutinitas kerja dari pagi sampai malam di setiap hari, merupakan penghantar yang tepat untuk pembaca memahami arah isi buku ini. Terkhusus saya sendiri, bagian ini menjawab perasaan dilema saya, yang pada waktu membacanya sedang dilanda kegalauan untuk melanjutkan tahap seleksi sebuah pekerjaan, yang akan menyeret saya pada rutinitas serupa: berangkat pagi pulang malam. Satu hal yang kemudian menjadi bahan pertimbangan saya adalah bukan karena enggan atau malas menyibukkan diri dengan kegiatan penuh seharian, tapi justru karena kalimat ini:
“Tidak hanya sebatas tugas belajar/kerja yang kita selesaikan, lebih penting lagi dalam kehidupan kita sehari-hari , dari bangun tidur sampai tidur lagi, apakah kita sudah benar-benar merasakan bahagia?” – hal. 9
Kalimat itu benar-benar mengacak-acak bahkan menghancurkan segala presepsi yang mengharuskan saya untuk menjalani pekerjaan itu.. Saya pikirkan lagi berulang-ulang, dalam-dalam, mempertanyakan kebahagiaan dalam versi saya “apakah definisi kebahagiaan sebatas status sosial dan penghasilan? Jika kemudian saya harus tenggelam dalam rutinitas, tapi tidak menikmati apa yang saya jalani, tidakkah berarti saya menjadi seperti robot bahkan zombie? Bagaimana dengan hobi saya, impian-impian saya, peran sebagai anak perempuan di rumah, haruskah segalanya dilupakan demi status sosial dan penghasilan?” Kalimat kutipan itu yang akhirnya menguatkan saya untuk batal mengikuti tahapan seleksi selanjutnya. Sekali lagi, bukan karena saya malas menyibukkan diri, tapi lebih karena saya ragu akan bahagia jika melakukan pekerjaan yang tidak sesuai maunya hati. Klise ya? Tapi demikian nyatanya. Saya bersyukur dengan pekerjaan saya sekarang, yang memang tidak menghantarkan saya pada status sosial dan penghasilan yang bisa dibangga-banggakan, tapi saya merasa nyaman menjalaninya dan yang pasti tidak menjadikan saya manusia robot yang tidak mengerti apa yang dikerjakannya. Hal lain adalah karena akhirnya saya tetap punya waktu luang untuk melakukan hal-hal yang saya sukai, semisal menulis review ini. Hidup ini hanya sekali, jadi harus benar-benar bahagia kan?
Kembali soal prolog, rasa-rasanya, selain diri saya, ada banyak orang yang mungkin perlu memikirkan hal serupa. Apakah kita benar-benar sudah bahagia? Lalu seperti kata si penulis dalam kalimat penutup prolognya: Untuk mendapatkan jawabannya, selamat membaca buku ini. Hahaha, kesel ya? Sama, saya juga! Pasca diobrak-abrik pikirannya dengan ilustrasi cerita tadi, bukannya dijawab langsung, malah disuruh baca bukunya sampai habis. Wkwkwk. Tapi memang demikian hakikat sebuah buku yang baik, penulis membimbing pembaca menemukan jawabannya tahap demi tahap. Bukan menginformasikan segalanya di awal. haha
****
Pilihan Bab Rasa ‘Aku Banget’Ada puluhan bab dalam buku ini yang tidak mengharuskan untuk dibaca berurutan karena tiidak terikat satu sama lain. Jadi bisa dipilih mau mulai membacanya dari mana saja. Dengan ketebalan 260 halaman, tulisan di masing-masing bab pun tidak terlalu panjang tapi selalu mampu menyampaikan pesannya dengan baik kepada pembaca. Tenang, Saya tidak akan menceritakan semuanya dalam review ini, hanya saja, izinkan saya berbagi pengalaman ketika membaca beberapa bab yang terasa ‘aku banget’:
1. Kembali Belajar Melepaskan
Ini adalah bab favorit saya. Berbicara soal melepaskan, biasanya kita hanya terfokus pada seberapa berharga dan berartinya sesuatu yang kita lepas. Sehingga terkadang rasanya melepaskan merupakan topik yang cengeng. Ya nggak? Nah, di buku ini, yang menjadi sorotan seorang Dwi Suwiknyo justru adalah alasan melepaskan. Dalam versinya melepaskan itu ada dua jenis: Pertama, melepaskan keburukan demi kebaikan. Kedua, melepaskan kebaikan demi kebaikan yang lebih besar lagi. Seperti dalam prolog, pada bab ini juga dilengkapi cerita yang mudah sekali dipahami pembaca. Dijamin deh, yang lagi galau menentukan pilihan pekerjaan kayak ceritaku di awal tadi, insyaallah semakin mantap memutuskan karena ketika membaca bagian ini kita benar-benar dibimbing untuk mengenal alasan dalam melepaskan. Nggak percaya? Baca aja sendiri!
2. Hidup Modal Dendam
Pernah nggak mengalami perlakuan tidak baik dari orang lain yang bikin kita marah, sakit hati, sampai dendam? Pasti pernah! Manusiawi! Haha… Lalu sampai mana perasaan mendendam itu membawa faedah untuk hidup kita? Apakah dendam hanya sebatas perasaan kesal ketika bertemu yang bersangkutan, atau perasaan ingin membalas dengan perlakuan setimpal, atau justru ingin melakukan pembuktian bahwa kita selalu lebih baik dari yang bersangkutan? Pada part ini, lagi-lagi, seorang Dwi Suwiknyo mencoba mengajak pembaca untuk mengarahkan perasaan negatif dalam diri untuk menghasilkan hal-hal yang berdampak positif bagi hidup kita. Meski judul bab memberikan kesan seolah kita hidup untuk sebuah dendam, sejatinya penulis selalu menekankan bahwa memaafkan tetap menjadi opsi terbaik.
“Berusaha keraslah dalam menutup aib orang lain, sebagaimana Allah telah menutup aib-aib kita. Berusaha keraslah untuk memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana Allah telah mengampuni dosa-dosa kita. Kemuliaan kita bukan ditentukan bagaimana cara orang lain bersikap kepada kita, tapi bagaimana cara kita bersikap baik pada mereka”- hal 90.
3. Kesengsaraan itu Hanya Ilusi
“Coba ambil satu pensil saja. Pensil itu sangat ringan bobotnya. Kita pun bisa memegangnya dengan gampang. Tapi coba pegang pensil itu dan luruskan tangan kita ke depan. Coba lihat seberapa lama kita mampu bertahan memegang pensil itu?” – hal 96
Kutipan yang merupakan analogi cara kita menghadapi kesedihan ini adalah alasan saya menyukai bab ini. Saya lebih suka menyebut bab ini sebagai bab ‘jangan drama!’ haha. Seringkali memang kitalah yang membuat kesedihan itu berlarut-larut. Padahal kita punya kendali untuk mengarahkan perasaan sedih pada hal lain yang lebih bermanfaat. Coba deh diresapi ilustrasi contoh kejadian realnya pada bab ini, supaya nanti sewaktu mengalami kesedihan kita tidak lagi membuatnya berlarut-larut. Mesti diakui Mas Dwi ini memang jago kalo bikin analogi.
4. Hiduplah Hari Ini
Kalau ada yang masih suka tersisksa karena belum bisa move on dari kehidupan masa lalu, atau lagi stres berat dengan segenap targetan di masa depan sampai merasa hampir gila, bab ini cocok sekali untuk meredam perasaan-perasaan itu. “Hidup ini tidak sulit dan tidak menyulitkan. Semua ada ukurannya dan memang telah Allah ukur untuk kita. Tidak ada masa lalu yang sia-sia. Begitu pula tidak ada masa depan yang perlu dikhawatirkan sampai bikin kepala pening.” – hal 182
5. Kemudahan Belum Tentu Baik
Mungkin sebagian besar dari kita pernah merasa hidup ini demikian berat dengan ramainya ujian yang datang silih berganti bahkan berbarengan, yang kadang membuat kita malah membandingkan kesengsaraan hidup kita dengan kemudahan hidup orang lain. Cobalah baca bab ini untuk membuatmu sedikit lebih bersyukur atas hidup yang telah menjadi milikmu. Sebab, “Orang yang hatinya sehat akan tetap waspada meski dalam kemudahan hidup” – hal. 192
****
Bab yang MenggelitikMemang tak lengkap hidup ini disebut bahagia kalau tak ada tawa di dalamnya. Sama seperti buku ini. Sebagai buku yang mengajak bahagia, tentu dilengkapi dengan tulisan-tulisan menggelitik yang membuat pembacanya tersenyum bahkan tertawa, namun tetap bisa mengambil hikmahnya. Pada bab Kontes Kesengsaraan (hal. 68), kita disajikan sebuah cerita yang sebenarnya miris tapi juga lucu untuk dibayangkan: Makan nasi sisa yang keras dengan ditambah air agar tetap bisa dinikmati. Melalui cerita ini, pembaca diajak menghadapi kesulitan dengan perspektif yang berbeda. Sehingga tetap bisa bahagia walau dalam kondisi yang tidak membahagiakan sama sekali. Atau pada bab Seni Memaklumi (hal. 130) pembaca akan dibuat tertawa oleh kisah seorang OB dari kampung yang menyamakan air keran dengan air gunung. Atau mungkin kalian juga tertawa membaca bab Jangan Terlalu Serius (hal 169) tentang doa untuk orang meninggal yang ‘nggak balik’. Penulis benar-benar apik mengemas kisah-kisah sederhana itu guna menyampaikan hikmah yang luar biasa. Keren lah pokoknya!
****
Sungguh, masih ada banyak bab yang ingin saya ceritakan dalam review ini, tapi mustahil saya lakukan, karena hanya akan membuatmu merasa sudah pernah membaca buku aslinya. Haha. Apa yang saya ceritakan dalam review ini hanya secuil dari banyaknya pelajaran yang bisa dipetik setelah menyelesaikan sendiri bukunya. Buku ini juga dilengkapi kutipan ayat Al-quran, kisah Rasulullah dan sahabat, yang sama sekali tidak menjadikannya bacaan berat, justru menyenangkan dan menenangkan. Buku ini recommended sekali untuk kalian yang baru mau mulai atau yang sudah merasakan pengalaman cari uang sendiri alias bekerja. Drama-drama dalam pekerjaan yang kadang menjadi sumber galau berkepanjangan, semuanya dibahas oleh Mas Dwi. Jadi, jangan lagi merasa sebagai satu-satunya orang paling sedih di dunia ini. Baca deh buku ini, minimal jika sedang dilanda masalah, kamu merasa ditemani, syukur-syukur menemukan solusi.
MasyaaAllah inspirasi banget,sy jdi tau bagai mana seharusnya menjalani hidup ini yaitu dg harus bahagia dengan disegala kondisi karena hidup ini cumn sekali.#good jobb_👍
BalasHapusIya bukunya memang menginspirasi. Terima kasih sudah mampir...
Hapus