(Cerpen Lolos Seleksi Kampus Fiksi Angkatan 18)
Pandanganku
kosong menatap jendela kereta, seolah tengah asyik memandangi setiap detail
lukisan alam di luar sana. Lima jam sudah kereta ini membawaku pergi dari
kampung halaman. Baru sekitar satu jam lalu aku mampu menyaksikan dengan jelas
apa yang ada di luar sana. Perjalanan panjang yang ku mulai sejak pukul 1 dini
hari tadi menjadikan pemandangan di luar sama sekali tak tertangkap oleh
mataku. Hanya sesekali lampu-lampu putih beberapa stasiun-saat kereta ini
berhenti-yang memberiku penjelasan tengah berada di mana. Di sampingku ada
sosok lelaki paruh baya-yang amat aku kenal namun baru kali ini aku kembali
merasakan keberadaannya-tengah asyik berbincang dengan orang di sebelahnya.
Perjalanan
jauh berdua dengan ayah. Sejak awal aku sudah paham perjalanan ini tak akan ada
bedanya dengan perjalanan sendirian. Sejak ibu menyiapkan perbekalan di rumah
tadi, aku sudah membayangkan betapa kaku perjalanan ini. Ingin sekali,
menganggap semua kisah buruk itu tak pernah ada. Sehingga tak perlu ragu bermanja-ria
dengan ayahanda sendiri. Bahkan sekedar menciptakan dialog-dialog sederhana pun
harus membuatku berperang dulu dengan amarah yang sudah bersemayam dalam lubuk
hatiku bertahun-tahun sebelum hari ini
terjadi.
Memori
tentang keceriaan masa kecilku, tentang tawa yang masih begitu tulus
kupersembahkan untuknya, tentang kebanggaan menjadi salah satu putri kecilnya,
tentang segala kasih sayang yang dulu kufikir milik keluarga kami seutuhnya.
Segala lembaran memori kisah manis yang masih tersisa berusaha kukumpulkan demi
menyingkirkan segala amarah di hati ini. Agar suasana kaku ini segera mencair.
Namun tetap saja, cuplikan kisah pahit itu terus saja mendominasi otakku. Bayang-bayang
tangisan ibu, keluhan-keluhan ibu, pertengkaran ayah dan kak haris,
pertanyaan-pertanyaan teman-teman tentang keberadaan ayahku, semua bergantian
muncul manakala aku berusaha mengingat masa-masa kecilku yang begitu manis
bersamanya.. Aku bahkan kewalahan mengingatkan diriku bahwa ia ayahku!. Ini
yang ku sebut perang batin. Pro dan kontra hanya tertuju untuk mempertanyakan
statusnya dalam hidupku.
Astaghfirullah
haladzim..
Segera
kalimat itu terlontar dari bibirku.
“kamu
kenapa mbak? Sakit?” ayah menoleh dan
bertanya pasca mendengarku beristighfar.
“tidak
apa-apa yah.” Aku menjawabnya dengan sangat datar.
“mungkin
sejam lagi kita nyampe mbak. Coba sms kak haris, Nanti gak usah dijemput.
Tunggu aja di lampu merah unila.”
“iya,
yah.”
Selalu
begitu. Ucapannya tak pernah kujawab dengan panjang lebar. walau sepatah dua
patah kata, bagiku itu sudah lebih baik daripada tidak sama sekali. Untuk
selanjutnya, Aku kembali membeku dalam sunyi. Sementara jemariku mulai bermain
diatas tombol-tombol handphone, melaksanakan perintahnya untuk mengirim pesan
singkat pada kak haris.
****
Sunyi
selalu mampu membawaku jauh tenggelam dalam fikiranku sendiri. Mungkin bila
dianalogikan dengan jarak, sudah ribuan kilometer yang kutempuh bersama sunyi.
Bagaimana tidak, bahkan sunyi mampu membawaku pada peristiwa bertahun-tahun
silam hingga pada berbagai fikiran baik dan buruk yang kuciptakan sendiri.
Namun semalam, sepotong dialog ayah dengan seorang bapak tua seusianya akhirnya
mampu menyeretku dari sunyi.
“neng
ini anak bapak?” bapak tua itu bertanya pada ayah tentangku. Mungkin ia heran,
sejak tadi ayahnya bercengkrama dengan penumpang lain diriku malah asyik
memandang keluar jendela tanpa bicara. Padahal tak ada yang bisa dilihat diluar
sana selain gelap.
“iya,
dia mau daftar kuliah di unila. Selama ini dia belum pernah ke Bandar lampung,
makanya saya antar.”ayahku menjelaskan dengan senyum lebar. Aku menangkap ada
perasaan bangga dalam dirinya saat bercerita pada orang lain bahwa ia tengah
mengantar anaknya menuju masa depan. aku hanya bisa tersenyum sinis dalam hati.
Mempertanyakan apa yang pantas ia banggakan? Aku masih ingat jelas bagaimana
ibu kebingungan memperoleh uang 600.000 untuk biaya transport dan konsumsi di
sana nanti. Sementara ayah hanya bisa bertanya apakah ada uang untuk
mengantarku ke Bandar lampung. Batinku teriris menyaksikan peristiwa itu. Ingin
sekali saat itu juga kubantah ucapan ayah. Bilang padanya bahwa aku tak perlu
diantar olehnya. Ingin sekali mengatakan padanya bahwa ia tak pantas bangga
hanya karna-saat ini-ia bersamaku dalam perjalanan ini. Tapi, karakter
plegmatis dalam diriku lebih kuat memintaku menelan pahitnya kembali. Aku paham
jika aku mengatakannya maka akan memicu konflik diantara kami. Aku benci
konflik . Meski dengan begitu, aku harus mengalami konflik dalam batinku sendiri.
Aku
hanya tersenyum pada bapak tua yang menanyakan tentangku tadi. Kemudian kembali
memandang kosong ke arah jendela.
“jurusan
apa dek?” kali ini bapak itu bertanya langsung padaku. Sepertinya, beliau masih
penasaran kenapa aku begitu dingin.
“pendidikan
kimia om” jawabku singkat.
Bapak
itu nampaknya merasa aku tak begitu suka ditanya-tanya, beliau pun hanya
mengangguk setelah mendengar jawaban dariku tanpa melontarkan pertanyaan lain.
Kemudian kembali asyik berbincang-bincang dengan ayah. Meski pandanganku tak
menghadap mereka, telingaku tak sekalipun kubiarkan lalai mengikuti kisah
mereka. Tak kupungkiri aku tertarik mendengarkan kisah-kisah hidup yang mereka
ceritakan. Sampai pada satu kalimat yang diucapkan bapak tua yang menengurku
tadi, aku tersontak dan refleks memutar kepalaku pada mereka.
“bapak
ini supir? wah, kalo kata orang, profesi supir itu dekat dengan poligami. Supir
itu biasanya istrinya banyak disana-sini. Apalagi supir antar kota. Mereka
sering gak pulang, akhirnya nemuin tempat bermalam yang baru di kota yang
mereka datangi. Istri baru maksudnya… haha” bapak tua itu bicara tanpa beban.
Mungkin ia bermaksud bercanda dengan ayah. Ia tak tahu bahwa perkataannya
adalah benar. Namun, setelah melihat ekspresi wajahku dan ayah.. Ia seperti
mengerti, lalu sesegera mungkin membatalkan kalimatnya.
“yaa,
tapi itu kata orang-orang. Itu tergantung orangnya juga. Kalo bapak ini
kayaknya enggak deh.hehe.. ya nggak dek?”
Aku
tersenyum tipis merespon pertanyaan bapak itu. Kemudian sekilas menoleh pada
ayah. Terlihat jelas sekali ia merasa tersudut dengan situasi ini. Seperti ada
bisikan halus mencoba memompa kebencian dalam hatiku. amarahku tersulut. Aku
menertawakan posisi ayah saat itu. Bagaimana bisa dialog yang ia ciptakan
justru menyudutkan dirinya sendiri. Untuk selanjutnya aku tak tertarik lagi
mendengar cerita ayah dengan bapak tua itu. Fikiranku kembali tenggelam pada
cuplikan pahit kehidupan keluargaku.
****
Begitu
kereta ini berhenti di stasiun Tanjung karang, ayah langsung mengarahkanku
untuk mengikutinya mencari angkot menuju unila. Di angkot-sama seperti saat di
kereta-ayah berlagak seperti seorang tour
guide sibuk menjelaskan
tempat-tempat yang kami lewati. Dan seperti biasa pula aku hanya
merespon dengan anggukan dan senyum yang sedikit dipaksakan.
Saat
angkot biru ini berhenti di lampu merah unila. Pandanganku menangkap sosok kak
haris.
“yah,
itu kak haris.” Ujarku pada ayah.
Ayah
mengangguk dan menyuruhku mengikutinya .Ya Rabb, aku hanya berharap selama kami
bertiga tinggal bersama semoga tak lagi terjadi pertengkaran seperti yang
sudah-sudah ketika bapak dan anak ini berinteraksi.
****
Kak
haris mengantarkan kami menuju kost nya. Aku hanya beristirahat sejenak
kemudian mengajak kak haris mengantarku ke unila untuk verifikasi berkasku.
Sementara ayah tetap menunggu dikamar kost ini. Ia Nampak lelah setelah melalui
perjalan jauh. Sejujurnya, batinku benar-benar dilema. Meski sepanjang
perjalanan tadi aku banyak mengutuki takdirku sebagai anaknya, aku lebih
kasihan melihat raganya yang mulai renta harus mengantarku jauh-jauh kesini.
Bagaimanapun, ikatan darah tak pernah bisa membuat seseorang membenci
seutuhnya. Tentu masih ada kasih sayang dan cinta yang dialirkan Tuhan di dalam
tiap aliran darah. Hanya terkadang, orang tersebut terlalu munafik untuk
mengaku bahwa dirinya teramat cinta. Dan
mungkin itu yang terjadi padaku saat ini.
“kamu
berangkat sama kak haris ya? Naik motor biar ngga capek. Biar ayah tunggu
disini” ujar ayah sebelum kami berangkat.
“iya
yah. Ayah istirahat aja. Pasti capek abis jalan jauh. Doain semoga lancar.”
Entah
kenapa, tiba-tiba aku bisa mengucapkan kalimat semanis itu pada
ayah. Aku sendiri bingung. Lalu pergi ke kampus unila bersama kakakku.
****
Usai
magrib, aku dan ayah segera menuju ke stasiun. Kami akan pulang hari ini juga. Aku
merasa hari ini begitu cepat berlalu. Baru tadi pagi aku menginjakkan kaki di
Bandar lampung, malam ini sudah harus kembali ke kampung halaman. Aku masih
merasa ini seperti mimpi.
Tiba
di stasiun, ayah menuju loket. Aku mengikutinya dibelakang. Setelah berbicara
dengan petugas tiket, entah kenapa ayah menarik kembali uang dan ktp yang ada
di genggamannya. Tanpa memegang tiket kereta yang seharusnya ia beli. Kemudian
membimbingku mengikutinya menuju keluar stasiun.
“kenapa
yah?”tanyaku heran.
“masih
punya uang ngga mbak? Uang dari ibu tadi ngga cukup. Tiket ke baturaja
disamakan sama tiket kertapati. Jadi lebih mahal. Kurang dua puluh ribu lagi.
Ayah ngga punya uang sama sekali.” Ayah menjawab getir.
“ngga
ada yah. Trus gimana? Balik lagi ketempat kak haris?”
Ayah
sedikit lama berfikir kemudian memintaku menelpon kak haris. Minta ia
mengantarkan uang 20.000 yang dibutuhkan. Tanganku terampil menekan sejumlah
tombol dan menunggu jawaban diujung telepon.
Setelah
telepon ditutup, entah kenapa ayah justru mengajukan ide lain.
“gimana
kalo mbak yang pulang duluan? Ayah besok nyusul naik bis aja.”
“kok
gitu? Kan kak haris lagi kesini nganterin uangnya.”
“tapi
keretanya udah mau jalan.”
“kita
tunggu aja yah. Kalo ngga bisa malem ini,yaudah besok aja pulangnya.”
Situasi
ini kembali mengantarkanku pada gemuruh benci yang bersemayam dihatiku.
Benar-benar tak bisa diandalkan. Bagaimana mungkin ia hanya bergantung pada
uang pemberian ibu. Benar-benar tak memikirkan jika terjadi sesuatu dalam
perjalanan. Aku terus mempertanyakan
dimana peran dia dalam keluarga ini. Bahkan perihal uang 20.000 pun tak ia siapkan
untuk anaknya. Ya Rabb, sebegitu tak perdulikah pria yang disebut kepala
keluarga ini?
Lamunanku
terhenti begitu melihat kak haris datang. Ia menyerahkan uang 50.000 kepadaku.
“begitu
sampe rumah, kirimin lagi uang 50.000 ini. Ini uang terakhir yang kakak
punya.boro-boro mau ngasih uang anaknya ayah ini, buat ongkos aja ngga cukup.
makanya kemaren mending berangkat sendiri dek. Ngga usah pake dianter ayah.”
Kak
haris bicara dengan sedikit berbisik. Batinku teriris kembali mendengar kalimat
kak haris. Sudah ada air mata yang menggenang dipelupuk mataku yang siap tumpah
ruah.
Aku
menyerahkan uang 50.000 itu pada ayah. Kemudian ayah bergegas kembali ke loket.
Kali ini aku tak mengikutinya. Tetap berdiri di luar mengusap air mata yang tak
terbendung lagi.
Setelah
tiket dalam genggaman, kami segera memasuki gerbong kereta. Suasana pulang kali
ini lebih dingin dari keberangkatan tadi. Aku sibuk mengontrol batinku agar tak
ada air mata menyusul jatuh. Sembari berusaha membendung perasaan benci itu
agar tak membumbung tinggi. Sementara ayah, entahlah, aku tak lagi
memperhatikannya. Entah ia merasa berdosa atau merasa tak pernah terjadi apapun.
Aku sudah tak peduli..
****
Lebih
dari setahun setelah hari itu terjadi, aku sudah berstatus mahasiswi semester
tiga. Hari ini tengah libur tenang sebelum ujian akhir. Aku memutuskan pulang
kampung. Beberapa hari dirumah, mbak
via-yang sejak kuliah dan bersuami tak lagi tinggal dirumah ini-ternyata juga
pulang kerumah. Layaknya orang yang tak pernah bertemu, kami sibuk menceritakan
pengalaman masing-masing. Entah kenapa, pada suatu pembicaraan mbak via
mengungkit kembali peristiwa kekurangan ongkos diawal kuliahku dulu.
“baru
ketika kamu kuliah ayah turun tangan ngurusin anaknya nggun. Waktu mbak kuliah
mana ada dia peduli. Berangkat tes sendiri, ngurus berkas sendiri. Untung waktu
mau ngekost dia ikut nganter.” Mbak via bercerita seperti iri denganku yang
diantar ayah saat pendaftaran.
“turun
tangan apanya? Ayah Cuma nemenin. Uang segala macem juga dari ibu. Itu aja
sempet nyaris ga bisa pulang gara-gara kurang 20.000.” aku membantah jengkel.
“haha,
iya ya. Ibu pernah cerita kamu sama ayah bingung di stasiun gara-gara ongkosnya
kurang. Kamu tahu nggak? Begitu sampe di rumah ayah nangis di hadapan ibu.
Miris ngeliat anaknya mau kuliah dia ngga bisa bantu apa-apa.” Papar mbak via.
“apa
iya?”
“hmm,
dia nangis setelah peristiwa itu. Ayah itu sudah tua, sakit-sakitan. Udah nggak
bisa kerja keras kayak dulu. Dia sekarang Cuma bisa pasrahh, nyesel sama
kesalahannya di masa lalu. Kita nggak boleh benci terus-terusan sama dia.
Bahkan ibu bisa bertahan sejauh ini untuk tetap jadi pendampingnya walau sudah
diduakan. Yang penting ayah udah sadar kalo dia salah. Dan udah nggak mungkin
buat dia ngelepasin salah satu istrinya. Tindakan itu justru lebih nggak
bertanggung jawab. nggun, ayah sayang sama kita. Tapi ia masih diliputi rasa
malu dan bersalah untuk menunjukkan sayangnya ke kita.“
Aku
tertegun. Aku tahu ayah masih peduli. Ia hanya pasrah atas kesalahan yang telah
ia lakukan dan sudah tak bisa berbuat apapun untuk membantu banyak perekonomian
keluarga ini. Mobil angkot miliknya yang sudah sangat tua serta badannya yang
semakin ringkih karena penyakitnya-dan karena ia menua-sudah tak mungkin
baginya bekerja maksimal mencari nafkah. Aku tahu, semasa di kereta ada banyak
yang ingin ia sampaikan padaku. Mungkin pengakuan atas kesalahannya, permintaan
maaf, atau kegembiraannya atas kelulusanku di universitas negeri. Tapi aku
terlalu dingin menatapnya, aku terlalu menampakkan kebencian padanya. Sehingga
tak ada yang ia ungkapkan padaku. Ayah, takdir memang membuatku tak bisa
menyayangimu. Tapi takdir juga yang membuatku tak bisa membencimu seutuhnya.
****
Komentar
Posting Komentar