Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan 1 : Oktober 2016
Tebal Buku : vi+524 halaman
Terima kasih untuk kesempatan
mengenalmu. Itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak
perlu ditemukan. Cintalah yang akan menemukan kita.
Terima kasih. Nasihat lama itu
benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir. tapi aku
akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.
Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan.
Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah
hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.
(Tere
Liye)
Sudah
baca novel yang cover belakangnya bertuliskan demikian? Atau sedang berencana
untuk membacanya? Saranku, jika memang sudah ada niat, lekas tunaikan dalam
tindakan. Sekali kamu masuk dalam kalimatnya Tere Liye, maka kujamin, kamu
tidak akan
punya cukup kekuatan untuk beranjak meninggalkannya sebelum ending.
punya cukup kekuatan untuk beranjak meninggalkannya sebelum ending.
Kecuali,
jika emak di dapur sudah memanggilmu dengan intonasi meninggi karena anaknya
sudah berjam-jam melotot di hadapan novel, mengabaikan panggilannya yang selalu
diberi jawaban “nanti”. Karena jika kamu tetap berteriak “nanti”, boleh jadi
panggilannya akan digantikan dengan lemparan perabot dari dapur. Itu mengerikan! :D
Atau
jika kamu sedang dalam perjalanan di kereta, barangkali kamu akan mendengus
kesal mendengar suara petugas yang mengumumkan bahwa stasiun tujuanmu akan
nampak dalam hitungan detik. Sementara bacaanmu baru sampai halaman 486. Nyaris
selesai. Tapi kamu harus berhenti membaca dan bergegas turun dari kereta.
Sangat tidak rasional, jika kamu memaksakan diri turun di stasiun berikutnya
hanya demi menuntaskan 524 halaman yang ada. Ini
pengalaman pribadi. Hehe
dalam perjalanan pulang kampung :) |
Tapi,
sungguh! Tanpa hal-hal semendesak itu, aku yakin matamu masih akan memilih asik
menelusuri kata perkata Tere liye dalam novel terbarunya ini. Kenapa? Karena
semua cerita kali ini adalah TENTANG KAMU.
****
Tentang
kamu, Tentang Siapa?
Namanya
Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara di sebuah firma hukum spesialis bidang elder law di London -Thomson & Co.
Firma hukum ini bergerak mengurus masalah perlindungan harta kekayaan kliennya
di atas prinsip-prinsip. Sangat berbeda dengan firma hukum kebanyakan yang
serakah mengambil keuntungan dari harta waris kliennya. Keadilan dan kejujuran
sangat diutamakan firma hukum ini. Reputasi tempatnya bekerja cukup menjadi clue untuk menjelaskan bagaimana karakter
Zaman dalam novel ini. Zaman, bagiku bukanlah tokoh sentral. Namun
keberadaannya adalah jembatan untuk menceritakan sosok sesungguhnya yang hendak
diceritakan Tere Liye.
Dialah
Sri Ningsih. Semua kisah dalam novel ini adalah rangkaian peristiwa kehidupan
yang dialami seorang Sri sejak lahir hingga meninggal dunia. Perjalanan hidup
yang tidak sederhana. Seorang putri mantan pelaut tangguh yang tumbuh mandiri
dan memukau bersama mimpinya menjelajah dunia. Satu tahun setelah diterima
bekerja di Thomson & Co, Zaman mendapat tugas menangani masalah pewarisan
harta kekayaan Sri Ningsih yang wafat dengan meninggalkan harta satu miliar
poundsterling. Setara19 triliun, jika dirupiahkan.
Bukan
karena angka sebesar itu yang menjadi tantangan bagi Zaman, tapi ketiadaan ahli
waris yang jelas dari seorang Sri lah, yang membuat pekerjaannya kali ini
tidaklah mudah. Belum lagi, fakta aneh bahwa alamat terakhir Sri sebelum
meninggal adalah sebuah panti jompo. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin seseorang
dengan kekayaan yang memungkinkan dirinya masuk dalam daftar orang terkaya di London,
justru menghabiskan sisa hidupnya di sebuah panti jompo?
Terlepas
dari tuntutan pekerjaannya, rasa penasaran dan dedikasi yang dimiliki Zaman
cukup untuk membuatnya rela mengunjungi berbagai negara demi menelusuri jejak
kehidupan Sri Ningsih. Lalu di kemudian hari membuat keputusan seadil-adilnya
tentang pewarisan kekayaan Sri Ningsih –yang setelah ditinggal mati, seolah
menjadi harta tanpa tuan.
Pulau
Bungin, Surakarta, Jakarta, London, Paris. Semua tempat yang bisa menjelaskan
sosok Sri menjadi tempat tujuan Zaman. Semakin jauh perjalanan Zaman,
terungkapnya fakta bahwa orang-orang yang terikat hubungan darah dengan Sri
Ningsih sudah meninggal, membuat Zaman semakin kesulitan menangani kasus
kliennya. Siapakah Sri Ningsih sesungguhnya? Apakah Zaman dapat menemukan orang
yang tepat sebagai pewaris harta kekayaan Sri Ningsih? Jawabannya akan kamu
temukan hanya jika kamu membaca novel ini secara utuh. Resensiku sama sekali tidak bertanggung jawab atas rasa penasaranmu :D
****
Kenapa Membaca Tentang Kamu?
Baiklah,
sekarang mari mulai membicarakan banyak hal berkaitan dengan alasan membaca novel
ini. Aku sudah menunggu novel tentang kamu sejak penulisnya –Tere Liye– mulai memposting
kabar kelahiran novel ini beberapa bulan sebelum rilis, melalui akun
facebooknya. Entahlah, mungkin sama dengan sebagian besar manusia baper di bumi
ini, membaca frasa judul novel Tere Liye satu ini seperti terhipnotis efek romance-galau maknanya yang
kutebak-tebak sendiri.
Mungkin
sensasi galau membacanya akan mirip dengan novel sunset bersama rosie, daun
yang jatuh tak pernah membenci angin, atau malah hujan. Begitu pikirku waktu
itu. Ini tidak berarti aku melulu suka kegalauan. No! Ini hanya tentang
keyakinanku, bahwa akan ada sudut pandang sederhana namun dewasa yang bisa
kupelajari dari tulisan Tere Liye. Ya, aku yakin, dengan membaca novel ini,
pemahamanku soal hidup akan diperbaharui.
Tidak
hanya itu. Motif lainku membaca novel ini adalah karena kabarnya, dalam novel
ini ada semacam kebaruan dari Tere Liye sendiri. Beliau melakukan hal-hal baru yang belum pernah ia
lakukan sebelumnya dalam penulisan novel, antara lain penggabungan
nasehat-nasehat lama, penggunaan dialek setempat, dan setting luar negeri. Aku
dibuat penasaran dengan perlakuan Bang Tere pada novel barunya ini.
Dengan
alasan-alasan di atas, disertai teknik-teknik marketing pihak penerbitan yang
memberikan diskon dan hadiah blocknote untuk
pembelian sebelum rilis, akhirnya aku tergiur ikut preorder novel tentang kamu. Dan tentu, setelah paket novelnya
sampai di tanganku, aku menghabiskan kata perkatanya sampai akhir. Setelah khatam,
kupikir ada yang keliru dengan dugaanku tentang novel ini.
preorder sekalian bareng temen |
****
Lima Juz, Lima Setting Cerita
Novel
dengan gambar cover sepasang sepatu
ini tidak didominasi oleh nuansa
percintaan. Di awal babnya, justru aku berpikir keserupaan novel ini dengan
novel pulang yang dipenuhi intrik politik-ekonomi. Karena bab pembukanya sudah
langsung menampilkan setting sebuah
firma hukum di London. Lengkap dengan kasus harta waris. Ya Tuhan! Novel ini
cukup serius. Dan benar saja, alur ceritanya disusun untuk bersinggungan dengan
peristiwa perang dunia, peristiwa G30S PKI di Surakarta, peristiwa Malari di
Jakarta, sampai soal penampungan barang
illegal di Paris.
Tapi
tenang. Meski bersinggungan dengan kejadian-kejadian seserius itu, novel ini
tidak akan membawamu pada suasana membosankan seperti saat belajar sejarah
dengan metode ceramah di kelas. Sebagai penulis fiksi, Tere Liye tetap berhasil
menyajikan peristiwa sejarah tersebut dengan gaya penceritaannya yang mengalir.
Kamu tidak akan merasa bosan. Justru akan terseret hanyut dalam suasana yang
dibangun berkat paduan diksinya yang oke banget!
Novel
ini, seperti yang pernah dikatakan penulisnya, adalah novel biografi. Aku
sepakat. Meski di awal bab aku sempat menduga kehidupan tokoh yang menjadi
fokusnya adalah kehidupan Zaman, tapi ternyata di perjalanan ceritanya, Tere
Liye menunjukkan tokoh yang sesungguhnya:
Sri Ningsih. Ada lima potong episode kehidupan yang menjadi bagian dari
perjalanan Sri Ningsih. Masing-masing menghadirkan sensasi tersendiri saat
membacanya. Peralihan episode ditandai dengan menampilkan catatan dalam diary Sri Ningsih. Juz pertama hingga kelima.
Juz Pertama:
Sri Ningsih kecil. Setting tempatnya di pulau Bungin. Sebenarnya, aku berharap
banyak pada deskripsi tempat yang detail tentang pulau Bungin. Nama tempat yang
relatif asing di telingaku. Tadinya aku berharap, setelah membacanya, aku akan
bisa membayangkan dengan jelas kondisi pulau ini. Tapi menurutku, deskripsi
tempatnya masih lemah. Kalah dengan alur ceritanya.
Pada
episode hidup yang ini, aku merasa seperti menonton drama ‘ratapan anak tiri’.
Bagian ini relatif ‘menye-menye’ jika
kamu bayangkan sedang menonton sinetron betulan. Tapi saat kamu menyelam
sendiri dalam kalimat Tere Liye, kamu akan abai tentang betapa kunonya tema
ini, bahkan mungkin malah sibuk mengusap air mata membayangkan kehidupan sulit si
tokoh utama dalam usia sekecil itu. Terlanjur hanyut oleh suasana cerita.
Akibatnya, tidak ada kesan spesial yang tertinggal tentang Pulau Bungin itu
sendiri.
“…Malam
ini sepertinya akan turun hujan lebat. Itu kabar buruk, angin kencang akan membawa tampias air, dia pasti kehujanan.
Tapi apa yang bisa dia lakukan? Mendorong pintu yang tidak dikunci, memaksa
masuk? Ibu tirinya akan semakin mengamuk. Memukulinya tanpa ampun. Sri baru
bisa masuk rumah setelah pukul empat subuh, itupun karena tugas memasak sudah
tiba, di harus ke dapur.” –hal 108
Juz Kedua:
Sri Ningsih remaja, di Surakarta. Masuk ke bagian ini, pembaca dituntun untuk flashback membayangkan
peristiwa G30 S PKI dengan lingkup setting
yang lebih kecil, di sebuah madrasah tempat Sri Ningsih tinggal. Tokoh-tokoh
yang diceritakan memang fiksi. Tapi tentu pengalamanmu memperoleh pelajaran
sejarah di sekolah tentang PKI, ditambah dengan kemampuan bercerita Tere Liye,
akan membuatmu nyaris berpikir bahwa kisah dalam novel ini nyata.
Dari
segi kekayaan konflik, bagiku, setting
Surakarta ini pemenangnya. Setelah membaca keseluruhan, konflik yang paling
melekat di ingatanku adalah semua yang terjadi di Surakarta. Yapp, peristiwa G
30 S PKI itu benar-benar memiliki kekuatan membangun konflik cerita. Bahkan
sampai ending, kenangan tentang Surakarta tetap berperan penting mengalirkan
cerita. Untuk tema cerita yang dialirkan pada tahapan ini tentu saja tentang
pengkhianatan. Siapa yang berkhianat?
Baca saja novelnya yaa…
“pukul tujuh malam
kompleks madrasah seperti ladang kengerian, darah membanjiri masjid, asrama,
jalan, hingga lapangan madrasah. Tubuh murid bergelimpangan. Massa kelompok
Musoh membawa Kiai Ma’sum dan keluarganya ke pabrik gula untuk dieksekusi” –hal
192
Juz Ketiga: Sri Ningsih menginjak dewasa, di Jakarta. Dari segi deskripsi tempat, Setting Jakarta sangat kuat. Mungkin karena memang Jakarta relatif lebih dekat dengan kehidupan penulis dan relatif familiar bagi pembaca, sehingga saat membacanya, kamu seperti sedang menyaksikan film tentang Jakarta. Budayanya, kulinernya, sejarahnya, ingatan tentang Jakarta menjadi lekat sekali usai kamu mengkhatamkan novel ini. Deskripsinya detail. Uniknya, deskripsi ibukota dihadirkan dari penjelasan Sueb, tukang ojek online yang membantu perjalanan Zaman di Jakarta. Melalui tokoh merakyat seperti itu, Jakarta diceritakan dengan bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi kualitas pengetahuannya. Hmm, abang ojeknya terkesan intelek gitu..
“… orang-orang
ngiranya, disebut kaki lima karena pedagangnya punya dua kaki, terus gerobaknya
punya tiga roda. total jadi kaki lima. Tapi itu salah, kagak bener. Dulu mana
ada pedagang yang bawa gerobak… dulu, VOC bikin peraturan kalo setiap jalan
harus punya trotoar minimal lima kaki, atau kira-kira 1,5 meteran lah, biar
pejalan kaki kagak senggolan. Orang Belanda emang pakai satuan kaki atau feet,
bukan meter. Nah, karena bahasa kita itu terbalik dengan bahasa bule, lima kaki
itu jadilah kaki lima. Itu sejarahnya, karena sejak sebelum merdeka, pedagang
yang berjualan di trotoar juga sudah disebut pedagang kaki lima.” – hal 229
Itu
salah satu penjelasan si Sueb yang aku suka. Tentang istilah pedagang kaki
lima.
Setelah
dibuat seperti menonton film PKI, pada episode Jakarta, kita kembali dibawa
pada peristiwa sejarah mencekam yang lain. Tidak banyak. Karena bagian ini
lebih banyak bercerita perihal perjalanan bisnis Sri dan kota Jakarta. Namanya
Peristiwa Malari (red: malapetaka 15 januari),
dengan fokus lokasi di Pasar Senen. Peristiwa ini tidak diceritakan sedetail
dan sesistematis peristiwa PKI. Karena sudut pandangnya diambil dari sudut
pandang Sri sebagai salah satu pengusaha di Pasar Senen. Bukan pihak yang terlibat langsung dalam demo.
Berbeda dengan saat Sri di madrasah yang memiliki keterlibatan secara langsung
dengan peristiwa pemberontakan yang terjadi. Peristiwa Malari digunakan Tere
Liye untuk dijadikan sebab mandeknya bisnis Sri Ningsih yang saat itu sedang
berkembang pesat. Sebuah kebetulan yang
terencana menurutku. Haha….
“…Ane belum pernah
lihat peristiwa kayak gitu. Belasan orang kehilangan nyawa, puluhan luka,
ratusan orang ditangkepin. Belum lagi, lebih dari 800 mobil ama 140 gedong
hangus terbakar. Ampun deh, ngeri banget. Perdana menteri Jepang aje terpaksa
numpang helicopter ke bandara buat balik ke negaranya. Soalya jalan-jalan
ditutup dan takut kenapa-napa…” –hal 252.
Juz Keempat: Sri Ningsih di London. Dari segi romantisme, tentu saja setting London yang paling kuat. Karena kehidupan percintaan Sri bersama seorang pria Turki diceritakan di bagian ini. Bagian ini menjadi jawaban atas ekspektasimu ketika membaca judul novel tentang kamu. Katakanlah tempat menemukan baper yang dicari. haha… Inilah bagian ‘tentang kamu’nya. Muasal kutipan di cover belakangnya yang syahdu sekali ketika dibaca.
Pada
bagian ini, Tere Liye tidak lagi membawa pembacanya pada setting peristiwa sejarah
yang tragis. Inilah tahap alur yang akan menyeretmu pada romansa cinta yang
bikin baper. haha. Karena membaca
episode ini, kamu boleh jadi mulai berangan-angan, mendambakan seorang
pendamping yang kelak bisa mencintaimu seperti Sri Ningsih mencintai suaminya
atau sebaliknya. Dan semoga bagian ini akan memperbaharui sudut pandangmu
tentang jatuh cinta dan cara tepat untuk membuktikannya. Tidak melulu soal
mabuk asmara yang berujung pada sikap irasional tak bermoral. Semoga yaa.
Masih
tetap mengalirkan cerita Sri Ningsih, tetap dengan ekstrimnya kehidupan yang ia
tempuh, setting London akan membuat kamu
sedikit rileks dengan menikmati kisah cintanya. Tapi itu tidak berlangsung
lama. Pernikahan beda rhesus menjadi muasal drama tragis berikutnya. Hei, Perjalanan
masih panjang untuk terlena bahagia karena cinta.
“Ada dua jenisnya,
yaitu rhesus positif dan rhesus negatif. Di benua Asia, 99,5% penduduknya
memiliki rhesus positif. Itu bukan kelainan, itu hanya penggolongan. Nah, yang
menjadi masalah adalah ketika pasangan suami-istri memiliki rhesus yang
berbeda. Saat istrinya memiliki rhesus negatif,
sedangkan suaminya rhesus positif, saat istri hamil, bayi yang dikandungnya
bisa dianggap benda asing Tubuh ibunya akan membentuk antibodi atau antirhesus
yang menyerang bayinya sendiri.” –hal 403
Juz Kelima:
Sri Ningsih menua di Paris -tepatnya di sebuah panti jompo. Ini tahap peredaan
konflik. Tidak ada konflik serius dalam episode hidup Sri Ningsih kali ini.
Tentu saja, sebagai pembaca, bagian ini tidak menawarkan suasana sedih dan mencekam seperti episode hidup sebelumnya.
Tapi bagian ini adalah penghubung kehidupan Sri Ningsih dan Zaman. Semacam
benang merah cerita. Selain itu, bagian ini menyajikan kisah-kisah sederhana
nan lucu yang terjadi dalam kehidupan para orang tua yang sudah pikun dan
kurang pendengaran. Siap-siap tersenyum ketika sampai pada bagian ini.
“kalau aku sudah
bertanya tadi, kenapa aku harus mengulanginya lagi? Itu tidak masuk akal. Aku
belum sepikun kamu, Beatrice” –hal 460
Dialog
di panti jompo semacam itu, membuatku tertawa sendiri membayangkannya. Tentang
orang tua pikun yang menuduh orang lain pikun? Itu lucu, menurutku.
****
Yang Perlu Direnungkan, Setelah Khatam Lima Juz
Menyimak
kehidupan Sri Ningsih di masa kanak-kanak. Berapa banyak anak-anak di dunia ini
yang kebahagiaannya direnggut oleh masalah keluarga? Saat seharusnya tertawa
bersama teman-temannya, anak tersebut malah sibuk bekerja atau malah melamun
sepanjang waktu, memikirkan hidupnya yang tak sama dengan teman-temannya.
Seberapa kuat mereka berjuang untuk tetap hidup dengan getir perbedaan itu?
Seberapa peduli kita pada mereka? Atau justru ikut menjauhinya ketika ia tak
bisa menempatkan diri untuk terlihat baik-baik saja?
Lalu
menyimak kasus-kasus yang pernah ditangani firma hukum Thomson&Co, tentang pentingnya menjaga ikatan keluarga.
Saat kemajuan teknologi sibuk mempertemukan kita dengan kehidupan nun jauh di
negeri antah berantah, apa kabar komunikasi kita dengan keluarga yang dekat?
Jangan-jangan malah kita tak peduli.
Tentang
Sri dan berbagai hantaman kehidupannya. Pertanyaan tentang batas kesabaran,
rasa dengki, dan pengkhianatan. Siapa yang sesungguhnya benar-benar paham bahwa
rasa sabar akan mencegah benci dan dengki menghuni batin kita? Sementara
rasa-rasanya, selama ini kita terlalu cepat membenci hanya karena kita tidak
sabaran.
Ada
banyak hal tentang kehidupan, yang dimaksudkan Tere Liye untuk kita pikirkan melalui
novel tentang kamu. Jika semua renungan kutuliskan dalam resensi ini, tulisanku
mungkin tidak akan selesai, dan kamu bosan mendapatiku berubah menjadi guru
spiritual. Maka bacalah sendiri novelnya, untuk kemudian renungkan pula olehmu
sendiri.
****
Kekhilafan Kecil, Katakanlah…
Tidak
ada yang sempurna di dunia ini, bukan? Tidak ada pengecualian keberlakuan kalimat itu untuk manusia mana
pun, menurutku. Bahkan untuk penulis best seller selevel Tere Liye, tetap saja
bisa ditemukan kesalahan-kesalahan kecil yang menjadikan karyanya tidak mutlak
sempurna. Dari pada menyebutnya sebuah kesalahan, aku lebih suka meyebutnya
sebagai kekhilafan. Karena hal-hal kecil ini hanya tentang luputnya perhatian
saat editing, barangkali. Apa saja?
Pertama, Tidak konsistennya menyebut kata ‘anda dan kamu’, juga ‘saya dan aku’. Kata ‘aku dan saya’ atau ‘kamu dan anda’ sesungguhnya memiliki kesamaan makna yang tidak akan mengganggu maksud cerita. Tapi semua orang paham, betapa kata-kata itu memiliki perbedaan dari segi formal atau tidaknya sebuah dialog. Maka penting untuk menjaga konsistensi penggunaan kata ini untuk menjaga suasana dialog tokohnya.
Sejujurnya,
diriku mulai terganggu atas ketidakkonsistenan penggunaan kata tersebut dalam
percakapan Zaman dan Aimee ketika pertama kali bertemu. Mulanya, Aimee
menggunakan kata ‘saya dan anda’. Namun, di kemudian berubah menjadi ‘aku dan
kamu’. harusnya tidak masalah jika dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa
kebakuan bahasa mereka sudah mencair karena keakraban. Tapi, karena
penggunaannya tidak konsisten, akhirnya malah menggangguku sebagai pembaca.
“Ada yang bisa saya bantu?” –Aimee, hal 26
“…perkenalkan namaku
Aimee, aku pengurus panti. Apa yang
bisa kubantu?” –Aimee, hal 26
“Tidak apa. Cepat atau
lambat Anda pasti meminta diantar
mengunjungi kamar Ibu Sri Ningsih. Au fait, ngomong-ngomong, penghuni panti
sepertinya menyukaimu, Tuan Zaman. Mereka masih meributkanmu di lantai dua,
sedang memutuskan kamu anak siapa”
– Aimee, hal 33
Semoga
aku tidak berlebihan telah mempermasalahkan aku, kamu, saya, dan anda ini ya?
Hehe..
Kedua, perihal tidak konsistennya keterangan waktu yang digunakan. Mungkin tidak terlalu kentara bagi pembaca cepat yang hanya ingin tahu garis besar cerita. Tapi bagi penikmat kata sepertiku, kekhilafan semacam ini bisa menjadi perhatian.
“Keluarga Nugroho tiba
di Pulau Bungin tahun 1944. Mereka memang bukan suku Bajo, melainkan datang
dari suku Jawa…” –hal 67
“Itu benar, Nugroho
memang bukan keturunan suku Bajo atau Bugis seperti yang lain. Tahun 1945,
Nugroho dan istrinya tiba di pulau ini…” –hal 69
Kutipan
di atas kentara sekali kekhilafannya, karena langsung terlihat dari perbedaaa
angka tahun 1944 dan 1945, serta jarak antar
kutipan tidak terlalu jauh.
Di lain kutipan, kekhilafannya memang tidak kentara senyata itu, tapi bagi yang memperhatikan, tetap saja terasa janggal. Terkait dengan keberangkatan Sri dari Surakarta menuju Jakarta.
Di lain kutipan, kekhilafannya memang tidak kentara senyata itu, tapi bagi yang memperhatikan, tetap saja terasa janggal. Terkait dengan keberangkatan Sri dari Surakarta menuju Jakarta.
“Setahun setelah
peristiwa itu, awal tahun 1967, Sri memutuskan pamit kepada Nur’Aini dan
Arifin. Dia pergi ke ibu kota, Jakarta…Pak Anwar mengantar Sri ke stasiun
kereta dengan mobil pikap Chevy.” –hal 199-200
“ Jakarta, 5 desember
1967…Aku sudah tiba di Jakarta dua minggu lalu. Maaf jika terlambat sekali
mengirim surat…” –hal 215
Hei,
apakah hanya aku yang mempertanyakan sejauh apa jarak Surakarta ke Jakarta,
sehingga Sri baru tiba di Jakarta menjelang penghujung tahun 1967, sedangkan ia
pamit dari Surakarta di awal tahun yang sama? Nyaris setahun? *buru-buru nanya mbah gugel
Ketiga,
tentang lima dan tujuh. Lagi-lagi tentang kata yang tidak konsisten. Nanti,
kalau kamu sedang membaca surat ke-19 Sri kepada Nur’aini. Mohon simak dengan
baik, apakah kekhilafan yang kumaksud menjadi perhatianmu juga?
“Apa kabar, Nur?
sungguh menyenangkan membaca surat terakhirmu. Wahid, itu nama yang bagus
sekali untuk putra kelima. Ini anak terakhir sesuai rencana kalian,
kan?... “ –hal 268
“Aku ingin pulang, Nur. Menjengukmu, bertemu
dengan tujuh anak-anakmu.. “ –hal
269
Hmm,
mungkinkah dalam jeda beberapa paragraf, jumlah anak Nur’aini bisa bertambah
dua? Hehe…
Tapi
ada yang perlu diingat. Resensi ini kutulis setelah membaca buku cetakan pertama, sangat mungkin bahwa kekhilafan-kekhilafan
kecil itu tidak ditemukan lagi di cetakan berikutnya. Semoga...
****
Overall….
Jangan
merasa sudah cukup paham secara utuh novel ini hanya dengan membaca resensiku
yang mungkin banyak spoiler menurutmu. Lalu merasa tidak perlu membaca novelnya
utuh. Tidak. Banyak hal yang tidak bisa kuceritakan melalui resensiku.
Perpindahan setting kehidupan Sri Ningsih
bukan tanpa sebab. Juga, Zaman bukan Tere Liye, yang hanya menguak cerita
perjalanan Sri Ningsih. Zaman adalah tokoh dalam cerita, ada kehidupan yang
juga ia jalani dalam novel ini. Tidakkah dirimu penasaran?
Dan
meski telah kusebutkan yang menjadi masalah dalam penulisan novel ini, itu sama
sekali tidak akan mengurangi faedah yang aku kamu dapatkan setelah membacanya. Kamu
tidak perlu meragukan kemampuan Tere Liye menyebarkan pemahaman baik tentang
kehidupan melalui diksi-diksinya. Juga kekhilafan kecil itu tidak akan mengubah
jalan cerita. Novel ini tetap recommended
untuk kamu baca.
Oh
ya, ada satu hal yang membuatku tetap saja penasaran dan tidak menemukan
jawabannya sampai ending. Tentang empat pertanyaan saat Zaman diwawancarai sebagai
calon yang akan bekerja di Thomson & Co.
“Jika berkata jujur
akan membuat empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong akan
membuatnya selamat, maka pilihan apa yang akan Anda ambil?” –hal 8.
Haissh,
pertanyaannya kenapa tidak semua dibahas? Kenapa harus disebut empat
pertanyaan, jika keempat-empatnya tidak dibahas? Hanya menyisakan rasa
penasaran pembaca saja. *protes ke Bang
Tere*
Aku
ngomong apa siiiih? Kamu semakin bingung? Makanya, baca saja novelnya, biar
kita nyambung. Mana tahu karena nyambung, kita jodoh. Loh? Hahaha, Lupakan. Lekas baca saja novelnya yaa.. Semoga kita sependapat. Happy Reading!!!
****
waaah.. panjang sekali resensinya...
BalasHapusbagus tulisannya..
hehe, menyesuaikan kebiasaan penerbitnya, Mas. Kalau untuk media cetak, mungkin memang kepanjangan. Terima kasih jika sudah sempat membaca :)
Hapussaya juga dua kali pernah bikin resensi... kalo ada waktu main ke rudirustiadi.blogspot.com.... hehehe
Hapusoke deh... nanti mampir juga deh ke blognya mas rudi.
Hapusbehhh keren beut yg terakhir tan, karna aku bca yg terakhirnya ja :D
BalasHapusharuskah aku sujud syukur, seorang rofiana sudi membaca tulisanku WALAU CUMA AKHIRNYA? hfftt
Hapus