Langsung ke konten utama

Tentang Kamu: Misteri Satu Miliar Poundsterling





Judul Novel : Tentang Kamu

Penulis : Tere Liye

Penerbit : Republika Penerbit

Cetakan 1 : Oktober 2016

Tebal Buku : vi+524 halaman



Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu. Itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan. Cintalah yang akan menemukan kita.
Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir. tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.
Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.
(Tere Liye)

Sudah baca novel yang cover belakangnya bertuliskan demikian? Atau sedang berencana untuk membacanya? Saranku, jika memang sudah ada niat, lekas tunaikan dalam tindakan. Sekali kamu masuk dalam kalimatnya Tere Liye, maka kujamin, kamu tidak akan
punya cukup kekuatan untuk beranjak meninggalkannya sebelum ending.

Kecuali, jika emak di dapur sudah memanggilmu dengan intonasi meninggi karena anaknya sudah berjam-jam melotot di hadapan novel, mengabaikan panggilannya yang selalu diberi jawaban “nanti”. Karena jika kamu tetap berteriak “nanti”, boleh jadi panggilannya akan digantikan dengan lemparan perabot dari dapur. Itu mengerikan! :D

Atau jika kamu sedang dalam perjalanan di kereta, barangkali kamu akan mendengus kesal mendengar suara petugas yang mengumumkan bahwa stasiun tujuanmu akan nampak dalam hitungan detik. Sementara bacaanmu baru sampai halaman 486. Nyaris selesai. Tapi kamu harus berhenti membaca dan bergegas turun dari kereta. Sangat tidak rasional, jika kamu memaksakan diri turun di stasiun berikutnya hanya demi menuntaskan 524 halaman yang ada.  Ini pengalaman pribadi. Hehe
dalam perjalanan pulang kampung :)

Tapi, sungguh! Tanpa hal-hal semendesak itu, aku yakin matamu masih akan memilih asik menelusuri kata perkata Tere liye dalam novel terbarunya ini. Kenapa? Karena semua cerita kali ini adalah TENTANG KAMU.
****
Tentang kamu, Tentang Siapa?

Namanya Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara di sebuah firma hukum spesialis bidang elder law di London -Thomson & Co. Firma hukum ini bergerak mengurus masalah perlindungan harta kekayaan kliennya di atas prinsip-prinsip. Sangat berbeda dengan firma hukum kebanyakan yang serakah mengambil keuntungan dari harta waris kliennya. Keadilan dan kejujuran sangat diutamakan firma hukum ini. Reputasi tempatnya bekerja cukup menjadi clue untuk menjelaskan bagaimana karakter Zaman dalam novel ini. Zaman, bagiku bukanlah tokoh sentral. Namun keberadaannya adalah jembatan untuk menceritakan sosok sesungguhnya yang hendak diceritakan Tere Liye.

Dialah Sri Ningsih. Semua kisah dalam novel ini adalah rangkaian peristiwa kehidupan yang dialami seorang Sri sejak lahir hingga meninggal dunia. Perjalanan hidup yang tidak sederhana. Seorang putri mantan pelaut tangguh yang tumbuh mandiri dan memukau bersama mimpinya menjelajah dunia. Satu tahun setelah diterima bekerja di Thomson & Co, Zaman mendapat tugas menangani masalah pewarisan harta kekayaan Sri Ningsih yang wafat dengan meninggalkan harta satu miliar poundsterling. Setara19 triliun, jika dirupiahkan.

Bukan karena angka sebesar itu yang menjadi tantangan bagi Zaman, tapi ketiadaan ahli waris yang jelas dari seorang Sri lah, yang membuat pekerjaannya kali ini tidaklah mudah. Belum lagi, fakta aneh bahwa alamat terakhir Sri sebelum meninggal adalah sebuah panti jompo. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin seseorang dengan kekayaan yang memungkinkan dirinya masuk dalam daftar orang terkaya di London, justru menghabiskan sisa hidupnya di sebuah panti jompo?

Terlepas dari tuntutan pekerjaannya, rasa penasaran dan dedikasi yang dimiliki Zaman cukup untuk membuatnya rela mengunjungi berbagai negara demi menelusuri jejak kehidupan Sri Ningsih. Lalu di kemudian hari membuat keputusan seadil-adilnya tentang pewarisan kekayaan Sri Ningsih –yang setelah ditinggal mati, seolah menjadi harta tanpa tuan.

Pulau Bungin, Surakarta, Jakarta, London, Paris. Semua tempat yang bisa menjelaskan sosok Sri menjadi tempat tujuan Zaman. Semakin jauh perjalanan Zaman, terungkapnya fakta bahwa orang-orang yang terikat hubungan darah dengan Sri Ningsih sudah meninggal, membuat Zaman semakin kesulitan menangani kasus kliennya. Siapakah Sri Ningsih sesungguhnya? Apakah Zaman dapat menemukan orang yang tepat sebagai pewaris harta kekayaan Sri Ningsih? Jawabannya akan kamu temukan hanya jika kamu membaca novel ini secara utuh. Resensiku sama sekali tidak bertanggung jawab atas rasa penasaranmu :D
****

Kenapa Membaca Tentang Kamu?

Baiklah, sekarang mari mulai membicarakan banyak hal berkaitan dengan alasan membaca novel ini. Aku sudah menunggu novel tentang kamu sejak penulisnya –Tere Liye– mulai memposting kabar kelahiran novel ini beberapa bulan sebelum rilis, melalui akun facebooknya. Entahlah, mungkin sama dengan sebagian besar manusia baper di bumi ini, membaca frasa judul novel Tere Liye satu ini seperti terhipnotis efek romance-galau maknanya yang kutebak-tebak sendiri.

Mungkin sensasi galau membacanya akan mirip dengan novel sunset bersama rosie, daun yang jatuh tak pernah membenci angin, atau malah hujan. Begitu pikirku waktu itu. Ini tidak berarti aku melulu suka kegalauan. No! Ini hanya tentang keyakinanku, bahwa akan ada sudut pandang sederhana namun dewasa yang bisa kupelajari dari tulisan Tere Liye. Ya, aku yakin, dengan membaca novel ini, pemahamanku soal hidup akan diperbaharui.

Tidak hanya itu. Motif lainku membaca novel ini adalah karena kabarnya, dalam novel ini ada semacam kebaruan dari Tere Liye sendiri. Beliau  melakukan hal-hal baru yang belum pernah ia lakukan sebelumnya dalam penulisan novel, antara lain penggabungan nasehat-nasehat lama, penggunaan dialek setempat, dan setting luar negeri. Aku dibuat penasaran dengan perlakuan Bang Tere pada novel barunya ini.

Dengan alasan-alasan di atas, disertai teknik-teknik marketing pihak penerbitan yang memberikan diskon dan hadiah blocknote untuk pembelian sebelum rilis, akhirnya aku tergiur ikut preorder novel tentang kamu. Dan tentu, setelah paket novelnya sampai di tanganku, aku menghabiskan kata perkatanya sampai akhir. Setelah khatam, kupikir ada yang keliru dengan dugaanku tentang novel ini.
preorder sekalian bareng temen

****

Lima Juz, Lima Setting Cerita

Novel dengan gambar cover sepasang sepatu ini tidak didominasi oleh  nuansa percintaan. Di awal babnya, justru aku berpikir keserupaan novel ini dengan novel pulang yang dipenuhi intrik politik-ekonomi. Karena bab pembukanya sudah langsung menampilkan setting sebuah firma hukum di London. Lengkap dengan kasus harta waris. Ya Tuhan! Novel ini cukup serius. Dan benar saja, alur ceritanya disusun untuk bersinggungan dengan peristiwa perang dunia, peristiwa G30S PKI di Surakarta, peristiwa Malari di Jakarta,  sampai soal penampungan barang illegal di Paris.

Tapi tenang. Meski bersinggungan dengan kejadian-kejadian seserius itu, novel ini tidak akan membawamu pada suasana membosankan seperti saat belajar sejarah dengan metode ceramah di kelas. Sebagai penulis fiksi, Tere Liye tetap berhasil menyajikan peristiwa sejarah tersebut dengan gaya penceritaannya yang mengalir. Kamu tidak akan merasa bosan. Justru akan terseret hanyut dalam suasana yang dibangun berkat paduan diksinya yang oke banget!

Novel ini, seperti yang pernah dikatakan penulisnya, adalah novel biografi. Aku sepakat. Meski di awal bab aku sempat menduga kehidupan tokoh yang menjadi fokusnya adalah kehidupan Zaman, tapi ternyata di perjalanan ceritanya, Tere Liye menunjukkan tokoh yang sesungguhnya:  Sri Ningsih. Ada lima potong episode kehidupan yang menjadi bagian dari perjalanan Sri Ningsih. Masing-masing menghadirkan sensasi tersendiri saat membacanya. Peralihan episode ditandai dengan menampilkan catatan dalam diary Sri Ningsih. Juz pertama hingga kelima.

Juz Pertama: Sri Ningsih kecil. Setting tempatnya di pulau Bungin. Sebenarnya, aku berharap banyak pada deskripsi tempat yang detail tentang pulau Bungin. Nama tempat yang relatif asing di telingaku. Tadinya aku berharap, setelah membacanya, aku akan bisa membayangkan dengan jelas kondisi pulau ini. Tapi menurutku, deskripsi tempatnya masih lemah. Kalah dengan alur ceritanya.

Pada episode hidup yang ini, aku merasa seperti menonton drama ‘ratapan anak tiri’. Bagian ini relatif ‘menye-menye’ jika kamu bayangkan sedang menonton sinetron betulan. Tapi saat kamu menyelam sendiri dalam kalimat Tere Liye, kamu akan abai tentang betapa kunonya tema ini, bahkan mungkin malah sibuk mengusap air mata membayangkan kehidupan sulit si tokoh utama dalam usia sekecil itu. Terlanjur hanyut oleh suasana cerita. Akibatnya, tidak ada kesan spesial yang tertinggal tentang Pulau Bungin itu sendiri.
“…Malam ini sepertinya akan turun hujan lebat. Itu kabar buruk, angin kencang akan  membawa tampias air, dia pasti kehujanan. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Mendorong pintu yang tidak dikunci, memaksa masuk? Ibu tirinya akan semakin mengamuk. Memukulinya tanpa ampun. Sri baru bisa masuk rumah setelah pukul empat subuh, itupun karena tugas memasak sudah tiba, di harus ke dapur.” –hal 108

Juz Kedua: Sri Ningsih remaja, di Surakarta. Masuk ke bagian ini,  pembaca dituntun untuk flashback membayangkan peristiwa G30 S PKI dengan lingkup setting yang lebih kecil, di sebuah madrasah tempat Sri Ningsih tinggal. Tokoh-tokoh yang diceritakan memang fiksi. Tapi tentu pengalamanmu memperoleh pelajaran sejarah di sekolah tentang PKI, ditambah dengan kemampuan bercerita Tere Liye, akan membuatmu nyaris berpikir bahwa kisah dalam novel ini nyata.

Dari segi kekayaan konflik, bagiku, setting Surakarta ini pemenangnya. Setelah membaca keseluruhan, konflik yang paling melekat di ingatanku adalah semua yang terjadi di Surakarta. Yapp, peristiwa G 30 S PKI itu benar-benar memiliki kekuatan membangun konflik cerita. Bahkan sampai ending, kenangan tentang Surakarta tetap berperan penting mengalirkan cerita. Untuk tema cerita yang dialirkan pada tahapan ini tentu saja tentang pengkhianatan. Siapa yang berkhianat? Baca saja novelnya yaa…
“pukul tujuh malam kompleks madrasah seperti ladang kengerian, darah membanjiri masjid, asrama, jalan, hingga lapangan madrasah. Tubuh murid bergelimpangan. Massa kelompok Musoh membawa Kiai Ma’sum dan keluarganya ke pabrik gula untuk dieksekusi” –hal 192

Juz Ketiga: Sri Ningsih menginjak dewasa, di Jakarta. Dari segi deskripsi tempat, Setting Jakarta sangat kuat. Mungkin karena memang Jakarta relatif lebih dekat dengan kehidupan penulis dan relatif familiar bagi pembaca, sehingga saat membacanya, kamu seperti sedang menyaksikan film tentang Jakarta. Budayanya, kulinernya, sejarahnya, ingatan tentang Jakarta menjadi lekat sekali usai kamu mengkhatamkan novel ini. Deskripsinya detail. Uniknya, deskripsi ibukota dihadirkan dari penjelasan Sueb, tukang ojek online yang membantu perjalanan Zaman di Jakarta. Melalui tokoh merakyat seperti itu, Jakarta diceritakan dengan bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi kualitas pengetahuannya. Hmm, abang ojeknya terkesan intelek gitu..

“… orang-orang ngiranya, disebut kaki lima karena pedagangnya punya dua kaki, terus gerobaknya punya tiga roda. total jadi kaki lima. Tapi itu salah, kagak bener. Dulu mana ada pedagang yang bawa gerobak… dulu, VOC bikin peraturan kalo setiap jalan harus punya trotoar minimal lima kaki, atau kira-kira 1,5 meteran lah, biar pejalan kaki kagak senggolan. Orang Belanda emang pakai satuan kaki atau feet, bukan meter. Nah, karena bahasa kita itu terbalik dengan bahasa bule, lima kaki itu jadilah kaki lima. Itu sejarahnya, karena sejak sebelum merdeka, pedagang yang berjualan di trotoar juga sudah disebut pedagang kaki lima.” – hal 229
Itu salah satu penjelasan si Sueb yang aku suka. Tentang istilah pedagang kaki lima.

Setelah dibuat seperti menonton film PKI, pada episode Jakarta, kita kembali dibawa pada peristiwa sejarah mencekam yang lain. Tidak banyak. Karena bagian ini lebih banyak bercerita perihal perjalanan bisnis Sri dan kota Jakarta. Namanya Peristiwa Malari (red:  malapetaka 15 januari), dengan fokus lokasi di Pasar Senen. Peristiwa ini tidak diceritakan sedetail dan sesistematis peristiwa PKI. Karena sudut pandangnya diambil dari sudut pandang Sri sebagai salah satu pengusaha di Pasar Senen.  Bukan pihak yang terlibat langsung dalam demo. Berbeda dengan saat Sri di madrasah yang memiliki keterlibatan secara langsung dengan peristiwa pemberontakan yang terjadi. Peristiwa Malari digunakan Tere Liye untuk dijadikan sebab mandeknya bisnis Sri Ningsih yang saat itu sedang berkembang pesat. Sebuah kebetulan yang terencana menurutku. Haha….
“…Ane belum pernah lihat peristiwa kayak gitu. Belasan orang kehilangan nyawa, puluhan luka, ratusan orang ditangkepin. Belum lagi, lebih dari 800 mobil ama 140 gedong hangus terbakar. Ampun deh, ngeri banget. Perdana menteri Jepang aje terpaksa numpang helicopter ke bandara buat balik ke negaranya. Soalya jalan-jalan ditutup dan takut kenapa-napa…” –hal 252.

Juz Keempat: Sri Ningsih di London. Dari segi romantisme, tentu saja setting London yang paling kuat. Karena kehidupan percintaan Sri bersama seorang pria Turki diceritakan di bagian ini. Bagian ini menjadi jawaban atas ekspektasimu ketika membaca judul novel tentang kamu. Katakanlah tempat menemukan baper yang dicari. haha… Inilah bagian ‘tentang kamu’nya. Muasal kutipan di cover belakangnya yang syahdu sekali ketika dibaca.

Pada bagian ini, Tere Liye tidak lagi membawa pembacanya pada setting peristiwa sejarah yang tragis. Inilah tahap alur yang akan menyeretmu pada romansa cinta yang bikin baper. haha. Karena membaca episode ini, kamu boleh jadi mulai berangan-angan, mendambakan seorang pendamping yang kelak bisa mencintaimu seperti Sri Ningsih mencintai suaminya atau sebaliknya. Dan semoga bagian ini akan memperbaharui sudut pandangmu tentang jatuh cinta dan cara tepat untuk membuktikannya. Tidak melulu soal mabuk asmara yang berujung pada sikap irasional tak bermoral. Semoga yaa.

Masih tetap mengalirkan cerita Sri Ningsih, tetap dengan ekstrimnya kehidupan yang ia tempuh, setting London akan membuat kamu sedikit rileks dengan menikmati kisah cintanya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Pernikahan beda rhesus menjadi muasal drama tragis berikutnya. Hei, Perjalanan masih panjang untuk terlena bahagia karena cinta.
“Ada dua jenisnya, yaitu rhesus positif dan rhesus negatif. Di benua Asia, 99,5% penduduknya memiliki rhesus positif. Itu bukan kelainan, itu hanya penggolongan. Nah, yang menjadi masalah adalah ketika pasangan suami-istri memiliki rhesus yang berbeda. Saat istrinya  memiliki rhesus negatif, sedangkan suaminya rhesus positif, saat istri hamil, bayi yang dikandungnya bisa dianggap benda asing Tubuh ibunya akan membentuk antibodi atau antirhesus yang menyerang bayinya sendiri.” –hal 403  

Juz Kelima: Sri Ningsih menua di Paris -tepatnya di sebuah panti jompo. Ini tahap peredaan konflik. Tidak ada konflik serius dalam episode hidup Sri Ningsih kali ini. Tentu saja, sebagai pembaca, bagian ini tidak menawarkan suasana sedih dan  mencekam seperti episode hidup sebelumnya. Tapi bagian ini adalah penghubung kehidupan Sri Ningsih dan Zaman. Semacam benang merah cerita. Selain itu, bagian ini menyajikan kisah-kisah sederhana nan lucu yang terjadi dalam kehidupan para orang tua yang sudah pikun dan kurang pendengaran. Siap-siap tersenyum ketika sampai pada bagian ini.
“kalau aku sudah bertanya tadi, kenapa aku harus mengulanginya lagi? Itu tidak masuk akal. Aku belum sepikun kamu, Beatrice” –hal 460
Dialog di panti jompo semacam itu, membuatku tertawa sendiri membayangkannya. Tentang orang tua pikun yang menuduh orang lain pikun? Itu lucu, menurutku.
****

Yang Perlu Direnungkan, Setelah Khatam Lima Juz
Menyimak kehidupan Sri Ningsih di masa kanak-kanak. Berapa banyak anak-anak di dunia ini yang kebahagiaannya direnggut oleh masalah keluarga? Saat seharusnya tertawa bersama teman-temannya, anak tersebut malah sibuk bekerja atau malah melamun sepanjang waktu, memikirkan hidupnya yang tak sama dengan teman-temannya. Seberapa kuat mereka berjuang untuk tetap hidup dengan getir perbedaan itu? Seberapa peduli kita pada mereka? Atau justru ikut menjauhinya ketika ia tak bisa menempatkan diri untuk terlihat baik-baik saja?

Lalu menyimak kasus-kasus yang pernah ditangani firma hukum Thomson&Co,  tentang pentingnya menjaga ikatan keluarga. Saat kemajuan teknologi sibuk mempertemukan kita dengan kehidupan nun jauh di negeri antah berantah, apa kabar komunikasi kita dengan keluarga yang dekat? Jangan-jangan malah kita tak peduli.

Tentang Sri dan berbagai hantaman kehidupannya. Pertanyaan tentang batas kesabaran, rasa dengki, dan pengkhianatan. Siapa yang sesungguhnya benar-benar paham bahwa rasa sabar akan mencegah benci dan dengki menghuni batin kita? Sementara rasa-rasanya, selama ini kita terlalu cepat membenci hanya karena kita tidak sabaran.

Ada banyak hal tentang kehidupan, yang dimaksudkan Tere Liye untuk kita pikirkan melalui novel tentang kamu. Jika semua renungan kutuliskan dalam resensi ini, tulisanku mungkin tidak akan selesai, dan kamu bosan mendapatiku berubah menjadi guru spiritual. Maka bacalah sendiri novelnya, untuk kemudian renungkan pula olehmu sendiri.
****

Kekhilafan Kecil, Katakanlah…

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, bukan? Tidak ada pengecualian   keberlakuan kalimat itu untuk manusia mana pun, menurutku. Bahkan untuk penulis best seller selevel Tere Liye, tetap saja bisa ditemukan kesalahan-kesalahan kecil yang menjadikan karyanya tidak mutlak sempurna. Dari pada menyebutnya sebuah kesalahan, aku lebih suka meyebutnya sebagai kekhilafan. Karena hal-hal kecil ini hanya tentang luputnya perhatian saat editing, barangkali. Apa saja?

Pertama, Tidak konsistennya menyebut kata ‘anda dan kamu’, juga ‘saya dan aku’. Kata ‘aku dan saya’ atau ‘kamu dan anda’ sesungguhnya memiliki kesamaan makna yang tidak akan mengganggu maksud cerita. Tapi semua orang paham, betapa kata-kata itu memiliki perbedaan dari segi formal atau tidaknya sebuah dialog. Maka penting untuk menjaga konsistensi penggunaan kata ini untuk menjaga suasana dialog tokohnya.

Sejujurnya, diriku mulai terganggu atas ketidakkonsistenan penggunaan kata tersebut dalam percakapan Zaman dan Aimee ketika pertama kali bertemu. Mulanya, Aimee menggunakan kata ‘saya dan anda’. Namun, di kemudian berubah menjadi ‘aku dan kamu’. harusnya tidak masalah jika dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kebakuan bahasa mereka sudah mencair karena keakraban. Tapi, karena penggunaannya tidak konsisten, akhirnya malah menggangguku sebagai pembaca.
“Ada yang bisa saya bantu?” –Aimee, hal 26

“…perkenalkan namaku Aimee, aku pengurus panti. Apa yang bisa kubantu?” –Aimee, hal 26

“Tidak apa. Cepat atau lambat Anda pasti meminta diantar mengunjungi kamar Ibu Sri Ningsih. Au fait, ngomong-ngomong, penghuni panti sepertinya menyukaimu, Tuan Zaman. Mereka masih meributkanmu di lantai dua, sedang memutuskan kamu anak siapa”Aimee, hal 33
Semoga aku tidak berlebihan telah mempermasalahkan aku, kamu, saya, dan anda ini ya? Hehe..

Kedua, perihal tidak konsistennya keterangan waktu yang digunakan. Mungkin tidak terlalu kentara bagi pembaca cepat yang hanya ingin tahu garis besar cerita. Tapi bagi penikmat kata sepertiku, kekhilafan semacam ini bisa menjadi perhatian.
“Keluarga Nugroho tiba di Pulau Bungin tahun 1944. Mereka memang bukan suku Bajo,      melainkan datang dari suku Jawa…” –hal 67

“Itu benar, Nugroho memang bukan keturunan suku Bajo atau Bugis seperti yang lain. Tahun 1945, Nugroho dan istrinya tiba di pulau ini…” –hal 69
Kutipan di atas kentara sekali kekhilafannya, karena langsung terlihat dari perbedaaa angka tahun 1944 dan 1945, serta jarak antar  kutipan tidak terlalu jauh. 

Di lain kutipan, kekhilafannya memang tidak kentara senyata itu, tapi bagi yang memperhatikan, tetap saja terasa janggal. Terkait dengan keberangkatan Sri dari Surakarta menuju Jakarta.
“Setahun setelah peristiwa itu, awal tahun 1967, Sri memutuskan pamit kepada Nur’Aini dan Arifin. Dia pergi ke ibu kota, Jakarta…Pak Anwar mengantar Sri ke stasiun kereta dengan mobil pikap Chevy.” –hal 199-200

“ Jakarta, 5 desember 1967…Aku sudah tiba di Jakarta dua minggu lalu. Maaf jika terlambat sekali mengirim surat…” –hal 215
Hei, apakah hanya aku yang mempertanyakan sejauh apa jarak Surakarta ke Jakarta, sehingga Sri baru tiba di Jakarta menjelang penghujung tahun 1967, sedangkan ia pamit dari Surakarta di awal tahun yang sama? Nyaris setahun? *buru-buru nanya mbah gugel

Ketiga, tentang lima dan tujuh. Lagi-lagi tentang kata yang tidak konsisten. Nanti, kalau kamu sedang membaca surat ke-19 Sri kepada Nur’aini. Mohon simak dengan baik, apakah kekhilafan yang kumaksud menjadi perhatianmu juga?
“Apa kabar, Nur? sungguh menyenangkan membaca surat terakhirmu. Wahid, itu nama yang bagus sekali untuk putra kelima. Ini anak terakhir sesuai rencana kalian, kan?... “ –hal 268

 “Aku ingin pulang, Nur. Menjengukmu, bertemu dengan tujuh anak-anakmu.. “ –hal 269
Hmm, mungkinkah dalam jeda beberapa paragraf, jumlah anak Nur’aini bisa bertambah dua? Hehe…

Tapi ada yang perlu diingat. Resensi ini kutulis setelah membaca buku cetakan pertama, sangat mungkin bahwa kekhilafan-kekhilafan kecil itu tidak ditemukan lagi di cetakan berikutnya. Semoga...
****
Overall….

Jangan merasa sudah cukup paham secara utuh novel ini hanya dengan membaca resensiku yang mungkin banyak spoiler menurutmu. Lalu merasa tidak perlu membaca novelnya utuh. Tidak. Banyak hal yang tidak bisa kuceritakan melalui resensiku. Perpindahan setting kehidupan Sri Ningsih bukan tanpa sebab. Juga, Zaman bukan Tere Liye, yang hanya menguak cerita perjalanan Sri Ningsih. Zaman adalah tokoh dalam cerita, ada kehidupan yang juga ia jalani dalam novel ini. Tidakkah dirimu penasaran?

Dan meski telah kusebutkan yang menjadi masalah dalam penulisan novel ini, itu sama sekali tidak akan mengurangi faedah yang aku kamu dapatkan setelah membacanya. Kamu tidak perlu meragukan kemampuan Tere Liye menyebarkan pemahaman baik tentang kehidupan melalui diksi-diksinya. Juga kekhilafan kecil itu tidak akan mengubah jalan cerita. Novel ini tetap recommended untuk kamu baca.
Oh ya, ada satu hal yang membuatku tetap saja penasaran dan tidak menemukan jawabannya sampai ending. Tentang empat pertanyaan saat Zaman diwawancarai sebagai calon yang akan bekerja di Thomson & Co.
“Jika berkata jujur akan membuat empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong akan membuatnya selamat, maka pilihan apa yang akan Anda ambil?” –hal 8.
Haissh, pertanyaannya kenapa tidak semua dibahas? Kenapa harus disebut empat pertanyaan, jika keempat-empatnya tidak dibahas? Hanya menyisakan rasa penasaran pembaca saja. *protes ke Bang Tere*

Aku ngomong apa siiiih? Kamu semakin bingung? Makanya, baca saja novelnya, biar kita nyambung. Mana tahu karena nyambung, kita jodoh. Loh? Hahaha, Lupakan. Lekas baca saja novelnya yaa.. Semoga kita sependapat. Happy Reading!!!
****

Komentar

  1. waaah.. panjang sekali resensinya...
    bagus tulisannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, menyesuaikan kebiasaan penerbitnya, Mas. Kalau untuk media cetak, mungkin memang kepanjangan. Terima kasih jika sudah sempat membaca :)

      Hapus
    2. saya juga dua kali pernah bikin resensi... kalo ada waktu main ke rudirustiadi.blogspot.com.... hehehe

      Hapus
    3. oke deh... nanti mampir juga deh ke blognya mas rudi.

      Hapus
  2. behhh keren beut yg terakhir tan, karna aku bca yg terakhirnya ja :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. haruskah aku sujud syukur, seorang rofiana sudi membaca tulisanku WALAU CUMA AKHIRNYA? hfftt

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?

  Judul         : Pergi Penulis       :  Tere Liye Penerbit      : Republika Penerbit Cetakan I    :April, 2018 Tebal buku  : iv+455 halaman “Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.” Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian   hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir:  “ apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong? ”. Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal