Kampung halaman memang selalu menawarkan kedamaian. Terkhusus ketika pagi. Aku senang menghirup udaranya dalam-dalam. Jauh dari polusi seperti di kota tempatku merantau. Juga, karena banyak hal yang bisa dikenang bersama aroma kenanga di pekarangan rumah dan seliweran bumbu masakan ibu yang sudah ke mana-mana sejak aku terjaga.
Sudah hampir jam enam pagi. Aku membuka pintu warung sebagai tanda siapapun sudah bisa berbelanja di rumahku. Karena masih belum ada pelanggan, aku memutuskan untuk menyapu halaman. Membersihkan daun-daun dari pohon mangga yang berjatuhan. Ritual semacam ini, hanya bisa terjadi saat sedang berlibur di rumah. Maklumlah, saat di rantau, aku lebih suka menarik selimut untuk menutup seluruh tubuh ketimbang melawan dinginnya pagi. Sebab memang tak ada yang menjadi kesibukan di pagi hari kecuali jam kuliah dimulai jam setengah delapan.
Satu dua pelanggan yang datang membuatku sesekali menunda aktivitas menyapu. Sekitar jam tujuh, saat halaman rumah sudah seratus persen bersih dari daun gugur, seorang wanita paruh baya memarkirkan motornya di depan warung.
"Wah, anak gadisnya Bu Lastri lagi pulang. Libur ya,Nduk? Rajinnyaa, pagi-pagi udah nyapu."
Dari senyumannya yang berujung pertanyaan itu, wanita itu tentu mengenalku. Aku mengingat-ingat siapakah beliau?
"Oalah, Tante Indri. Rani kira siapa. Iya, mumpung libur ini. Tante apa kabar? Lama ndak ketemu. Mau belanja apa?" Tanyaku, membalas sapaannya.
Dialog itu menjebakku terlibat celoteh panjang ala emak-emak yang bercerita seputar anak laki-lakinya yang sebaya denganku. Menyadari statusnya sebagai ibu kandung dari seorang teman masa kecil, terpaksa mengantarkanku pada sebuah cerita lucu zaman pakai seragam putih-merah.
****
Namanya Putra. Seorang anak laki-laki yang selalu mengikuti kemana pun aku pergi saat kelas enam.Keakrabanku dengannya sebenarnya baru dimulai beberapa bulan setelah duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Waktu itu, Disaat semua teman-teman perempuan membuatku jengah dengan perilaku hasut-menghasut ala anak es-de untuk menjadi teman siapa dan memusuhi siapa, aku mangkir dari barisan perempuan. Menyapa segerombolan anak laki-laki yang sedang main kelereng di lapangan sekolah. Bertingkah sok asik agar diterima meski tak piawai main kelereng. Putra menjadi salah satu dari mereka yang akhirnya menjadi teman karibku karena ketelatenannya mengajariku aturan dasar permainan kelereng.
Sebagai anak SD yang masih tulus-tulusnya menghargai kata persahabatan, kuakui, keberadaan Putra selalu berhasil membuatku senang. Sekadar mendengar leluconnya yang lucu sampai garing macam kerupuk, aku suka. Aku tak tahu, waktu itu aku tak berpikir macam-macam soal rasa suka ke lawan jenis. Perihal spesialnya Putra bagiku hanya karena ia seorang laki-laki, sedangkan semua sahabat karibku adalah perempuan. Hanya itu. Tapi rupanya, tidak dengan Putra. Aku tak paham persisnya. Sejak intensitas bermainku dengan Putra meningkat, teman laki-lakinya menjadi sering sekali meledek bahwa kami berpacaran. Yaampuun, di usia segitu, aku cuma tahu bahwa pacaran itu kerjaannya orang dewasa. Sedangkan aku hanya gadis kecil berseragam putih merah? Mulanya aku cuek, tapi jumlah ledekan meningkat dari orang-orang yang berbeda pula. Entahlah, aku mulai tak nyaman. Seperti malu sekali hanya untuk menyapa Putra yang tentu akan selalu dibarengi ledekan teman-teman. Aku memutuskan untuk tidak dekat-dekat dengan Putra lagi. Menjauh, sejauh-jauhnya. Sampai pada suatu ketika, sepupu Putra yang kebetulan juga teman sebangkunya, mendekatiku. Berujar bahwa ia mendapat titipan salam dari Putra untuk disampaikan padaku. Aku menoleh ke arah Putra yang duduk di pojok belakang. Tepat saat itu juga mata kami bertemu dan Putra tersenyum. tanpa komando, sepupunya yang menyaksikan adegan itu, iseng bersorak "Ciee!!!" Yang membuat seisi kelas memandang kearah kami. Kelas gaduh. Tak terkontrol. Aku mencoba memberi klarifikasi, namun sia-sia. Mereka sahut-sahutan meledek kami. Sekilas aku melihat Putra yang justru tampak senang diledek menjalin asmara denganku. Ah, sial! Apa pula bocah itu! Raut wajahnya bahagia sekali. Merasa tak menemukan solusi untuk menghentikan sorak-sorai di kelas, aku memilih untuk menangis. Sekencang-kencangnya. Kelas yang ramai menjadi hening. Teriakan 'ciee' itu berubah jadi aktivitas saling sikut antar teman-teman yang saling menyalahkan untuk menentukan siapa yang membuatku menangis. Aku tak peduli. Aku tetap menangis karena merasa semua itu hanya gosip belaka. Sampai seorang guru masuk kelas dan menanyaiku kenapa menangis. Dengan polosnya aku menjelaskan sambil sesenggukan.
"Rani dibilang pacaran sama Putra, Bu!"
Seisi kelas tertawa lagi mendengar penjelasanku. Aku segera berteriak marah-marah kepada seisi kelas, mendiamkan mereka lagi. Akhirnya sang guru menengahi.
Pasca hari itu, aku tak pernah bertegur sapa lagi dengan Putra. Tiap kali terpaksa berpapasan, kami saling menunduk dan bergegas saling meninggalkan. Di SMP pun, kebetulan kami satu sekolah lagi, kami bersikap seperti orang asing. itu berlangsung bertahun-tahun. Sampai menjelang kelulusan kelas dua belas SMP akhirnya kami saling sapa lagi. Entah apa muasalnya.
Pernah suatu kali, setelah menjadi sahabat baik lagi, Putra membicarakan perihal aib putih merahku itu. Ia mengaku sedih menyaksikanku menangis di kelas waktu itu. Ia bertanya, serendah itukah ia di mataku sampai aku harus marah-marah ketika teman-teman menggosipkan kami berdua, menangis pula. Sejujurnya Aku malu sekali harus membahas soal itu lagi. Tapi saat itu juga kusampaikan permohonan maaf karena tak bermaksud menganggapnya buruk. Itu hanya faktor kepolosanku yang belum mengerti cara menyikapi keakraban dengan lawan jenis. Kami saling tertawa karena memori itu.
****
"Kebetulan mbak lagi di sini, Putra berpesan sama tante untuk nyampein undangan kalo kemari. Tapi tante ndak bawa undangannya. Karena niat tante pagi ini cuma mau belanja. Putra mau nikah dua minggu lagi. Mbak Rani dateng yaa! Nanti undangannya tante susulkan."Ya Tuhan, celoteh itu berujung pada undangan. Kalimat itu yang sesungguhnya membuatku memutar memori masa kecilku bersama Putra. Menikah? Rasanya baru kemarin menyaksikan wajah bahagianya menanggapi gosip seputar asmara kami. Rasanya baru kemarin menyaksikan wajah sedihnya melihatku menangis menanggapi gosip tentang kami. Rupanya waktu sudah membuat banyak hal berubah. Juga menyadarkanku tentang usia kami yang bukan anak-anak lagi. Putra sudah berani mengambil tanggung jawabnya atas seorang perempuan. Dan perempuan itu tentu saja bukan gadis cengeng yang menangis di kelas waktu itu. Haha... Aku turut berbahagia dan bangga padamu, Put. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Maafkan aku yang tak sempat mengadiri pernikahanmu, karena masa liburku sudah habis sebelum hari akad nikahmu. Happy wedding. Aku mendoakanmu dari jauh.
#FirstDayWritingChallenge
#CintaMonyet
#KampusFiksi
#BasabasiStore
Komentar
Posting Komentar