Langsung ke konten utama

Surat untuk Ra

sumber gambar : http://ukhtisamira.blogspot.co.id/
Selamat malam, Ra!
Mungkin tulisan ini adalah sebuah kesia-siaan. Ditulis tanpa kejelasan tujuan dan waktu untuk disebut sebagai surat. Tapi aku perlu menulisnya dan membiarkan takdir yang membuatnya sampai kepadamu atau tidak. Juga membiarkan takdir sudi membuatmu mau membalasnya atau tidak.

Ra, seharusnya ini kuucapkan enam tahun lalu.


Aku menyukaimu, Ra!
Dalam sekali duduk, pada senda gurau pertama denganmu dalam pelajaran TIK, mempertanyakan keanehan diri kita berdua yang suka menyendiri pada saat jam istirahat. Membangun dunia sendiri pada sebuah kertas untuk ditulis atau dilukis.
Aku menyukaimu, Ra!
Dalam sekali duduk, aku menepiskan semua presepsi benciku terhadapmu. Karena membencimu yang angkuh berarti membenci diriku sendiri. Apa bedanya aku denganmu? Itu yang selalu kuucapkan tiap kali protes atas ketidakpedulianmu pada orang lain, sebelum pada akhirnya aku mengenalmu lebih jauh.
Aku semakin menyukaimu, Ra!
Ketika pada akhirnya kedekatan kita membuatmu menjadi sosok yang begitu perhatian. Sekadar bertanya kabar via sms, padahal tiap hari kita bertemu dalam ruang kelas yang sama. Aku senang ketika kamu selalu melakukan apapun sekadar menarik perhatianku.
Aku menyukaimu, Ra!
Bahkan jauh sebelum kamu bertanya apakah aku menyukaimu. Sebelum dengan berani kamu mengatakan perasaan serupa. Sebelum kamu merencanakan sebuah tanggal cantik untuk disebut sebagai hari jadi kita.
Aku menyukaimu, Ra!
Dalam sebuah buku kumpulan puisi tulisanku yang kamu beri komentar 'ciee' ketika membacanya. Rasanya ingin kudiamkan ledekanmu dengan sebuah kalimat "puisi itu tentang kamu, Ra!". Tapi keberanianku tak lebih jauh dari diksi yang lahir dalam puisi itu.
Aku menyukaimu, Ra!
Namun seperti tindakanku menyampul buku rancangan novelmu, seperti itu pula aku membungkus perasaan itu. Terlihat indah dalam presepsiku, tapi fungsinya menutupi bagian terdalamnya: perasaanku.

Aku (masih) menyukaimu, Ra!

Sampai detik ini, Bahkan ketika aku yakin bahwa kamu tak lagi menyisakan perasaan apapun untukku. Sudah lebih dari enam tahun. Aku takkan senaif itu berharap perasaanmu masih sama. Terlebih, sebelum perpisahan itu aku tetap kekeuh menyembunyikan perasaanku, setelah kamu bertarung dengan ketakutanmu, sekadar mengakui bahwa kamu punya perasaan khusus terhadapku. Maaf, Ra! Atas dasar sebuah prinsip, bagiku lebih baik kamu tak tahu apa-apa. Karena toh tak ada yang bisa diperbuat anak SMA dengan perasaan saling suka selain pacaran kan? Dan tidak ada istilah itu dalam kamusku. Maaf aku tak jujur. Tapi mengakuinya di hadapanmu hanya akan membuat prinsipku menjadi sulit. Tapi harusnya kamu tahu, perasaanku mendengar pengakuanmu, lebih bergemuruh ketimbang genderang batin yang kamu katakan kepadaku. Aku senang tak kepalang, cintaku berbalas. Tapi sedih mendapati ketakmampuan kita memberi solusi. Jatuh cinta itu masalah saat kita masih jauh dari kata menikah. Maaf juga tak mengatakan alasannya ketika itu. Bagiku, kamu yang ambisius nanlogis, tak akan begitu saja menerima alasan itu. Usia kita masih terlalu kecil untuk jauh berpikir soal dosa hanya karena jatuh cinta. Aku khawatir kamu hanya menganggapku mengarang alasan untuk menolakmu. Padahal memang tak ada alasan lain, kecuali prinsip itu.
Aku menyesali satu hal sampai hari ini,Ra! Kenapa kamu tak bilang lebih awal bahwa aku adalah alasan terakhirmu untuk membujuk kedua orang tuamu, menolak pindah kota? Kenapa kamu tak bilang, kamu butuh aku sebagai alasan untuk tetap tinggal? Kenapa kamu tak bilang, jika aku menolak berarti kamu akan pergi? Kenapa kamu pergi dengan cara menghilang seperti itu, tanpa kompromi denganku lebih dulu?
Ra, hari ini aku tinggal di kotamu. Tapi keberadaanku tak ada gunanya. Karena toh, setelah aku pergi sejauh ini, berharap bisa menemuimu di sini, kamu malah merantau ke beda kota lagi. Aku harusnya mencukupkan perasaanku pada fakta itu: Barangkali memang Tuhan tak merestui. Kita tak berjodoh, bisa jadi? Tapi aku masih tetap memilih rindu padamu. Ya, tanpa temu, perasaan itu hanya akan berwujud rindu.

Aku (masih) menyukaimu, Ra!

Terlebih ketika tahu kamu sedang berencana ke luar negeri. Aku senang, karena itu berarti kamu masih sama, masih seorang Ra yang hidupnya penuh mimpi. Ra, tak apa jika kabar itu tak lagi terkhusus untukku. Tapi seringlah bertutur lewat tulisan di akun sosmed perihal perjalananmu. Aku suka menjadi silent reader profilmu sekadar memastikan kamu baik-baik saja, dan semakin baik setiap harinya. Aku juga suka dengan gambar-gambar hasil karyamu. Melihat postingan gambar itu, aku berimajinasi seperti melihatmu di pojokan kelas saat bel istirahat sedang asyik sekali menggambar sembari mendengarkan musik. Aku seperti nyata di dekatmu, meski kenyataannya hanya imajinasi.

Aku tak tahu, seberapa bermanfaat tulisan ini bagi yang membacanya. Tapi malam ini aku perlu menulisnya di sini untuk membiarkan semua rindu ini tumpah dan semoga tak bersisa. Karena sejujurnya aku lelah.Aku juga tahu, mungkin takkan ada efek apa-apa untukmu sekalipun tak sengaja kamu menjumpai tulisan ini. Sekali lagi, aku hanya ingin menuang rindu agar tak terlalu penuh di batinku. Aku tak hendak memaksa takdir, karena toh jika kamu takdirku, akan ada jalannya sendiri untuk kita bertemu. Kamu terus saja sama mimpimu, biar aku mengamati dari jauh.


Ra, kalau kamu menyadari tulisan ini ditujukan kepadamu, dan kamu bisa memastikan ketersisaan perasaan itu  untukku, jangan sungkan mengulang pertanyaan itu sekali lagi. Tapi kuharap dalam konsep serius: pernikahan. Jika belum, simpan saja sisa pertanyaan itu seperti aku menyimpannya sampai hari ini. Ajukan lagi ketika komitmen dan kesiapanmu sudah sejauh itu.

Dan bukan tak mungkin kamu membenci tulisan ini, menganggap semuanya tak penting lagi. Tapi kumohon jangan menertawaiku. Jika memang kamu baik, kirimkan saja sebuah pesan untukku agar menghentikan harapanku terhadapmu. Dengan demikian aku akan berhenti, karena memang kamu yang meminta. Aku tahu kamu sangat tahu kemana harus menghubungiku.

Selamat malam, Ra.

Tak perlu terusik, aku hanya belum menemukan cara berhenti mengenangmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Resensi Novel Pergi- Tere Liye] Tauke Besar, Kemana akan Pergi?

  Judul         : Pergi Penulis       :  Tere Liye Penerbit      : Republika Penerbit Cetakan I    :April, 2018 Tebal buku  : iv+455 halaman “Berangkat, Edwin. Kita harus tiba di Hong Kong malam ini. Aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai.” Bagi kalian yang pernah membaca novel Pulang karya Tere Liye terbitan tahun 2015 lalu, tentu tak asing dengan kalimat di atas. Sebaris kalimat penutup yang berhasil membuat pembaca mengkhatamkan novel tersebut dengan otomatis mengeluh “Yah, endingnya gantung!”. Sepertinya, melalui kalimat itu, sang penulis sengaja menciptakan tanda tanya besar di kepala pembaca, untuk kemudian dibuat penasaran, harap-harap cemas menantikan ada atau tidak sekuelnya di kemudian   hari, sekadar menjawab satu pertanyaan yang pasti muncul saat aktivitas membaca terpaksa berakhir:  “ apa kepentingan Bujang menemui Master Dragon di Hong kong? ”. Dan pada April 2018, pertanyaan itu akhirnya akan dijawab. Setelah sebelumnya sempat

Miss Keriting dan Masa Lalunya

Judul Buku: Selena dan Nebula Penulis: Tere Liye Co-author: Diena Yashinta Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: Cetakan pertama 2020 S-E-L-E-N-A.  Selena lahir di distrik sabit enam, Sebuah perkampungan yang padat, kumuh, dan tertinggal di klan Bulan. Ia terlahir dari orang tua yang miskin. Malangnya lagi, pada usia empat belas tahun ayah Selena meninggal dunia. Lalu menyusul ibunya yang wafat pada tahun berikutnya. Selena resmi menjadi gadis yatim piatu pada usia lima belas tahun. Dari surat wasiat terakhir yang ditulis sang ibu, Selena mengetahui bahwa ia masih punya keluarga di kota Tishri yang berjarak dua ratus kilometer dari tempat tinggalnya. Namanya paman Raf, adik dari sang ibu, pemilik salah satu kantor pekerja konstruksi di kota Tishri. Keseharian keluarga Raf mengerjakan proyek-proyek pembangunan di kota Tishri dan keinginan Selena balas jasa karena hidup menumpang, mengharuskannya untuk turut terlibat dalam pekerjaan konstruksi m

Matahari: Perjalanan Tanpa Misi

Judul Novel         : Matahari Penulis                : Tere Liye Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama Cetakan I            : Juli 2016 Cetakan II            : Agustus 2016 ISBN                    : 978-602-03-3211-6 Tebal buku          : 400 halaman Namanya Ali, 15 tahun, kelas X. Jika saja orang tuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doctor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya. Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya yang membosankan berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir. Ali sendiri punya rahasia kecil.Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan. Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya, dia akhirnya tahu persahabatan adal