Selamat malam, selamat membaca tulisan ke empat di hari ke lima. (nyengir innocent, sambil minta maaf ke momon)
Tema hari ini tentang peristiwa memalukan di masa lalu yang seharusnya tidak pernah dilakukan.
hmmm....
Sebenarnya agak riskan bertanya tentang apa yang memalukan kepada seorang gadis pemalu.
Yeah, bagaimanapun, label sebagai pemalu diberikan kepada seseorang karena nyaris semua hal enggan dilakukan orang tersebut karena ia malu. Dan gaees, kalian harus percaya bahwa aku pemalu. (pasang cadar, eaa) So, terus terang saat diberi tema ini, aku rada bingung memilih bagian mana dalam hidupku yang memalukan. Bukan karena nyaris tak ada, tapi karena terlalu banyak hal memalukan dalam hidupku. wkwkwk.. candaaa...
Baiklah, sudah kuputuskan untuk memilih satu dari sekian peristiwa memalukan yang pernah kualami. peristiwa yang paling dari yang ter-paling-memalukan seumur hidupku.
Cerita ini berlangsung di zaman putih biru. Kalau pakai istilah sekarang, ini zaman masih berwujud ABG labil. Masa-masa permulaan mencari jati diri.
Jadi ceritanya, waktu itu aku punya geng sepermainan di sekolah. Ke mana pun dan di mana pun, kami ditemukan sebagai satu paket yang tak terpisahkan. Kantin, kelas, ruang OSIS, kantor guru, perpus, everywhere.. Jadilah orang-orang menyebut kami satu geng. Kami beranggotakan empat orang. Ada Fitri yang tomboy, yang karena karakternya yang kuat, ia bertransformasi seolah menjadi ketua geng. Ada Fanny yang fashionable plus ngartis. Ada Rahma, yang manis dan kemampuan sosialisasinya mesti diacungi jempol. Dan aku sendiri, terkenal cool dan serius. Dengan kekuatan karakter kami masing-masing, geng kami terkenal sebagai pentolan di sekolah. Bagaimana tidak, Fitri adalah wakil ketua OSIS di SMP. Fanny adalah siswa yang aktif di dunia modelling. Rahma sendiri aktif mengikuti perlombaan pidato atau debat sekaligus menjabat sekretaris dalam OSIS. Aku sendiri adalah langganan juara umum tiap semester. Geng kami punya kekuatan relasi yang tidak perlu diragukan lagi.
Oke cukup aksi pamernya. hahah
Nah, sebagai geng alias sahabat karib, kami terbiasa berbagi banyak hal. Mulai dari urusan sekolah hingga yang paling privasi seperti masalah hati, sudah bukan rahasia lagi. Tapi, sebagai seorang introvert akut, punya geng bukan satu-satunya solusi buatku menceritakan hal-hal yang tidak bisa diceritakan. Aku menjadi satu-satunya orang yang tidak bisa berbagi masalah hati. Ketika teman-temanku sibuk menceritakan pacar dan mantan-mantannya, aku hanya ikut nimbrung tertawa jika lucu atau bersimpati ketika mereka patah hati. Lalu tibalah masa mereka bosan dengan tingkahku itu.(Padahal mestinya aku yang bosan mendengar cerita mereka yang begitu melulu, haiss.. jomblo selalu salah rupanya). Nah, mereka ini kesal, karena aku nampak merahasiakan sesuatu dari mereka. Mengatasnamakan persahabatan, aku dinilai tak mempercayai mereka. Oh my Gosh, penilaian macam apa ini? Aku tetap bersikeras untuk menutup rapat-rapat masalah hati ke siapapun. Dan mereka lelah menanyaiku lagi.
Aku bersorak dalam hati setelah beberapa hari aku aman dari pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang sedang kusukai. Hidup memang sudah seharusnya senyaman ini, batinku. Tapi rupanya aku keliru. Suatu malam, Fitri, yang notabennya yang paling dekat denganku, masih mengintrogasiku dengan cara yang jauh lebih halus dan pendekatan yang dalam. Aku yang mulanya bertahan untuk diam, akhirnya luluh. Tersebutlah sebuah nama. Dan Fitri paham siapa orangnya. Tuhan, demi apa pun, dengan segala kekhawatiran yang menghantui tiap kali ingin membagi nama itu, keberanianku bercerita kepada Fitri malam itu memberikan kelegaan yang luar biasa. Aku banyak berterima kasih padanya.
Selang beberapa hari, setelah curhatanku dengan Fitri yang ditutup dengan perjanjian untuk tidak menceritakan rahasiaku kepada siapapun, aku merasa tidak ada yang berubah dan memang seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun entah,, di suatu hari, aku merasa ada yang aneh dengan tatapan teman-teman kepadaku. Terlebih, pada seorang laki-laki yang namanya kusebutkan kepada Fitri malam itu. Aku merasa ada yang tidak beres. Pulang sekolah, seperti biasa kami berencana main ke tepian sungai dekat sekolah. Yang aneh dari hari itu adalah, kenapa laki-laki yang kusukai ikut dalam rombongan kami. Juga kesan tatapan teman-teman yang seolah mengerti bahwa ada yang tidak biasa dengan perasaanku, mulai membuatku curiga. Ternyata benar. Fitri tidak seamanah itu memegang janjinya. Ia bahkan menceritakan langsung kepada yang bersangkutan perihal perasaanku. Niatnya tidak mutlak jahat. Fitri hanya ingin bertingkah sebagai mak comblang. Karena kebetulan laki-laki bersangkutan juga punya perasaan serupa. Laki-laki itu mengambil peluangnya. Tapi aku tidak baik-baik saja dengan itu. Selain karena introvertku, aku memang berprinsip untuk tidak pacaran, itu sebabnya perihal hati tidak kuceritakan ke siapapun. Lagipula, aku merasa laki-laki itu hanya memanfaatkan peluang karena kebetulan tahu hatiku. So, dengan sendirinya aku ilfeel dan peristiwa penolakan pun terjadi. haha.. Fitri menjadi pahlawan kesiangan hari itu. Aku tetap menolak ketika peluang pacaran itu terbuka lebar. Yang ada, aku malu setengah mati menjadi pusat perhatian semua orang dan (yang pasti) karena perasaanku menjadi tercecer dimana-mana. Aku merasa hina sekali. wkwkwk. Dalam hati, aku menyesal pernah membagi cerita yang seharusnya kutelan sendiri.
Saat ini, setiap bertemu dengan laki-laki yang bersangkutan, aku membangun mental tinggi-tinggi agar tetap bisa tegak berbicara dengannya meski rasa maluku membumbung tinggi akibat peristiwa itu. Beruntung, beberapa bulan lalu, bertahun-tahun setelah hari itu, sebuah surat undangan sampai ke rumahku. Laki-laki itu sudah menikah sekarang. wkwkwk. Aku cuma nyengir kalau ingat masa lalu. Bukan karena miris ditinggal nikah. Di usia itu, perasaan suka ke lawan jenis menjadi hal yang wajar dan terlalu dangkal untuk digalaukan. Aku cuma malu mengingat perasaanku tercecer akibat salah curhat. Tak tanggung-tanggung, berceceran di seantero sekolah. Bayangkan, setelah menahan semuanya agar tidak bocor, gara-gara lubang sedikit, jadi banjir satu sekolah.
Jangan lupa baca tulisan sebelumnya ya, gaess: http://tulisanintan.blogspot.co.id/2017/06/sebesar-aku-pernah-merasa-punya.html
#WriringChallenge
#Day4
#7daysKF
Aku bersorak dalam hati setelah beberapa hari aku aman dari pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang sedang kusukai. Hidup memang sudah seharusnya senyaman ini, batinku. Tapi rupanya aku keliru. Suatu malam, Fitri, yang notabennya yang paling dekat denganku, masih mengintrogasiku dengan cara yang jauh lebih halus dan pendekatan yang dalam. Aku yang mulanya bertahan untuk diam, akhirnya luluh. Tersebutlah sebuah nama. Dan Fitri paham siapa orangnya. Tuhan, demi apa pun, dengan segala kekhawatiran yang menghantui tiap kali ingin membagi nama itu, keberanianku bercerita kepada Fitri malam itu memberikan kelegaan yang luar biasa. Aku banyak berterima kasih padanya.
Selang beberapa hari, setelah curhatanku dengan Fitri yang ditutup dengan perjanjian untuk tidak menceritakan rahasiaku kepada siapapun, aku merasa tidak ada yang berubah dan memang seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun entah,, di suatu hari, aku merasa ada yang aneh dengan tatapan teman-teman kepadaku. Terlebih, pada seorang laki-laki yang namanya kusebutkan kepada Fitri malam itu. Aku merasa ada yang tidak beres. Pulang sekolah, seperti biasa kami berencana main ke tepian sungai dekat sekolah. Yang aneh dari hari itu adalah, kenapa laki-laki yang kusukai ikut dalam rombongan kami. Juga kesan tatapan teman-teman yang seolah mengerti bahwa ada yang tidak biasa dengan perasaanku, mulai membuatku curiga. Ternyata benar. Fitri tidak seamanah itu memegang janjinya. Ia bahkan menceritakan langsung kepada yang bersangkutan perihal perasaanku. Niatnya tidak mutlak jahat. Fitri hanya ingin bertingkah sebagai mak comblang. Karena kebetulan laki-laki bersangkutan juga punya perasaan serupa. Laki-laki itu mengambil peluangnya. Tapi aku tidak baik-baik saja dengan itu. Selain karena introvertku, aku memang berprinsip untuk tidak pacaran, itu sebabnya perihal hati tidak kuceritakan ke siapapun. Lagipula, aku merasa laki-laki itu hanya memanfaatkan peluang karena kebetulan tahu hatiku. So, dengan sendirinya aku ilfeel dan peristiwa penolakan pun terjadi. haha.. Fitri menjadi pahlawan kesiangan hari itu. Aku tetap menolak ketika peluang pacaran itu terbuka lebar. Yang ada, aku malu setengah mati menjadi pusat perhatian semua orang dan (yang pasti) karena perasaanku menjadi tercecer dimana-mana. Aku merasa hina sekali. wkwkwk. Dalam hati, aku menyesal pernah membagi cerita yang seharusnya kutelan sendiri.
Saat ini, setiap bertemu dengan laki-laki yang bersangkutan, aku membangun mental tinggi-tinggi agar tetap bisa tegak berbicara dengannya meski rasa maluku membumbung tinggi akibat peristiwa itu. Beruntung, beberapa bulan lalu, bertahun-tahun setelah hari itu, sebuah surat undangan sampai ke rumahku. Laki-laki itu sudah menikah sekarang. wkwkwk. Aku cuma nyengir kalau ingat masa lalu. Bukan karena miris ditinggal nikah. Di usia itu, perasaan suka ke lawan jenis menjadi hal yang wajar dan terlalu dangkal untuk digalaukan. Aku cuma malu mengingat perasaanku tercecer akibat salah curhat. Tak tanggung-tanggung, berceceran di seantero sekolah. Bayangkan, setelah menahan semuanya agar tidak bocor, gara-gara lubang sedikit, jadi banjir satu sekolah.
Jangan lupa baca tulisan sebelumnya ya, gaess: http://tulisanintan.blogspot.co.id/2017/06/sebesar-aku-pernah-merasa-punya.html
#WriringChallenge
#Day4
#7daysKF
Komentar
Posting Komentar