Hari ketiga writing challenge #KampusFiksi dan #basabasistore...
Tulisan sebelumnya : http://tulisanintan.blogspot.co.id/2017/06/lima-mahluk-yang-tak-mungkin-kupelihara.html
Aku sengaja menulisnya sedikit mepet deadline. Tema hari ketiga cenderung baper. Butuh suasana hening nan syahdu untuk membuka luka-luka lama yang sudah berusaha dikubur oleh waktu dan rutinitas. Dan mendekati tengah malam adalah saat yang tepat, menurutku.
Seberapa besar kamu pernah kehilangan seseorang?
Pertanyaan ini jlebb banget. Sekali terbaca, sukses membuat sesak seonggok daging dalam raga yang sensitif dengan kata kehilangan.
Kau pernah dengar kalimat ini: "Seseorang yang paling kau cintai, punya potensi paling besar untuk melukaimu dalam-dalam"
Belum ya? Jangan-jangan itu hanya sebaris kalimat yang lahir dari pengalamanku sendiri. Hahaha.
Gaess, cinta yang kumaksud dalam tulisan ini lebih universal sifatnya jika hanya kau taksir sebagai cinta seorang pacar. Aku jomblo kok. Maka aku tak punya kewajiban untuk merasa kehilangan seorang kekasih. wkwkwkwk
Tapi izinkan aku sedikit serius kali ini.. Sekali ini saja...
Aku pernah mencintai sesosok mahluk bahkan ketika aku sendiri belum mengerti cinta itu apa. Ini semacam cinta pertama. Ketika itu, aku hanya tahu bahwa aku hanya perlu melakukan berbagai hal bersama seseorang itu. Semuanya. Bahkan sekadar untuk ditemani, ditonton barangkali. Aku tidak perlu ia untuk membantu banyak hal atas apa-apa yang sedang kukerjakan. Meski nyaris setiap dibersamai olehnya, ia tahu harus berperan sebagai apa, ia tahu harus melakukan apa. Dan tanpa keberadaannya, aku nyaris enggan melakukan apapun. Yang aku tahu, ia adalah kepunyaanku. Maka tidak ada dunia lain yang berhak ia bersamai selain aku.
Waktu itu, aku duduk di kelas enam SD. Untuk kali pertama aku tahu bagaimana perasaan yang utuh itu dihancurkan. Bagaimana cara menerima bahwa sesuatu yang sudah kita klaim sebagai milik kita seutuhnya, tiba-tiba kita tahu bahwa anggapan kita salah besar? Apa sih yang bisa dilakukan anak kelas enam SD mendapati hatinya patah? Bahkan menangis mungkin bukan hal yang pantas dilakukan seorang anak SD yang bahkan belum mengerti hakikat kepemilikan.
Setelah hari aku tahu, bahwa cinta yang kuanggap utuh untukku, ternyata menjadi milik orang lain juga, yang ada dalam pikiranku hanya satu: mengganti kata cinta itu menjadi benci. Dan itu tidak mudah. Aku terlanjur berikrar bahwa aku adalah penyebab bahagianya, dan sedih miliknya adalah air mataku. Bukan main sulitnya memutar ikrar itu. Bukan main sulitnya memerintah diri untuk menjadi sebab luka seseorang yang mulanya ingin kita bahagiakan. Aku putar haluan. mengambil jarak sejauh yang aku bisa. Meski kenyataannya, takdir tidak memberiku akses untuk berjarak secara fisik maupun batin. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkan kedua porsi perasaan itu berarung saling mengungguli dalam batinku sendiri.Aku membiarkan waktu dan keadaan membuat salah satunya mendominasi: membenci atau menyayangi. Kata-kata, bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya hati yang dihuni dua perasaan yang bertolak belakang.
Semakin mendewasa, semakin mahir mendukung rasa benci, aku semakin berjarak secara batin. Tidak tertarik berbicara padanya apalagi bercita-cita membahagiakan. Tiap kali berhadapan, aku menatapnya sepintas lalu, kemudian muak oleh benciku, dan aku memilih segera berlalu. Atau jika terjebak dalam dialog, aku menghindari melontarkan pertanyaan, sebab tak ingin menjadi faktor penyebab panjangnya percakapan. Aku menjelma menjadi mahluk paling menjengkelkan baginya. Dan tiap kali menangkap kekesalan dalam dirinya, aku merasa berhasil membencinya.Aku berhasil kehilangan rasa cinta yang dahulu kala sangatlah utuh,
Namun, dewasa juga membuatku berkenalan dengan kata maaf. Kebencian itu, mau tak mau, meski kukikis setiap kali menyadari betapa mulianya memaafkan.
Aku memutuskan menjadi dewasa hari ini. Tidak peduli, sesakit apa rasanya kehilangan. Tidak peduli seberapa sesaknya menanggung benci. Aku belajar berdamai dengan takdir. Memaafkan berbagai tragedi.
Maka ketika kau tanya, seberapa besar aku pernah merasa kehilangan. Kujawab: sebesar aku pernah merasa memilikinya.
Hhh, aku tahu, Kau kesal membaca tulisanku kali ini. Kau tak mendapat kejelasan tentang siapa dan kenapa aku harus merasa kehilangan. Sebab, aku memang tak punya cukup kata dan keberanian untuk bertutur panjang lebar menyebut sesuatu itu hilang, sementara secara fisik ia ada dalam kehidupanku. Yang jelas, ia adalah manusia.
ahya, sebelum kututup tulisanku, kumau bertanya: Siapa seharusnya cinta pertama yang menjadi keniscayaan bagi setiap perempuan bahkan ketika usianya belum sampai standar mengerti kata cinta?
Renungkan saja jawabannya dalam diam....
Tulisan sebelumnya : http://tulisanintan.blogspot.co.id/2017/06/lima-mahluk-yang-tak-mungkin-kupelihara.html
#WritingChallenge
#7DaysKF
#Day3
Komentar
Posting Komentar