Tema terakhir #7daysKF: Surat untuk diriku di masa depan.
Kyaaaa, seandainya benar surat ini bisa melakukan time travel, sudah kupastikan aku tak perlu bertanya penasaran setiap pagi pada diriku sendiri di depan cermin tentang 'akan jadi seperti apa aku di masa depan?'. Seandainya mungkin, pasti seru sekali bisa mengobrol dengan diri sendiri yang terpisah oleh dimensi waktu. Hmmm...
Entah mustahil atau mungkin, biar kutulis saja dulu list pertanyaan untuk diriku di masa depan.
****
Bandar Lampung, 17 juni 2017
Dear, future intan...
Aku menulis surat ini saat sedang gamang dengan skripsiku yang nggak kelar-kelar, sementara, satu persatu teman-teman seangkatanku mulai sidang. Kalau bukan karena memikirkanmu di masa depan, aku ingin menyerah saja. Tapi, aku tak mau merusak hidupmu. Kalau aku menyerah hari ini, mudah sekali menebak kabarmu di sana saat kau membaca ini. Tentu kau sedang menyesali diriku sebagai masa lalumu yang begitu lemah dengan kualitas hidup yang pasti tidak jauh lebih baik dari yang kita impikan.
Tan, apa kabar? Apa fisikmu sehat? Masihkah suka mengeluh sakit perut karena kebiasaan telat makan? Aku berharap kamu lebih disiplin dalam urusan makan dibanding aku sekarang. Jangan justru menjadi kita di masa kecil yang setiap bulan mesti berobat ke dokter. Seharusnya dengan latar belakang itu, kamu menjadi lebih kuat. Tubuh kita ini seharusnya sudah banyak membentuk antibodi kan? Aku selalu mendoakanmu yang terbaik.
Tan, bagaimana dengan rumah bacamu? Apakah ramai? Buku-bukunya sudah berapa banyak? Jangan-jangan kamu bahkan sudah membuka cabang? Kamu pasti tahu bagaimana perjuanganku sejak SMA yang rela tak jajan saat jam istirahat demi menabung dan membeli buku setiap akhir bulan. Atau pengorbananku selama menjadi mahasiswa yang senantiasa berhitung agar bisa membagi beasiswaku untuk kebutuhan hidup dan dahaga bukuku. Aku senang sekali setiap melihat buku-bukuku sekarang yang jumlahnya sudah lumayan. Tan, aku berharap kamu sudah mewujudkan mimpi rumah bacaku itu. Kamu masih ingat kan, dengan prinsip kebermanfaatan kita sebagai manusia. Kamu masih memegang prinsip itu kan?
Ohiya, terus terang aku penasaran. Saat sekarang aku berjuang menyelesaikan kuliahku di fakultas keguruan, apakah kamu di sana benar-benar menjadi guru? Jadi guru yang seperti apa kamu? Bukan guru yang terobsesi pada sertifikasi dan lupa sama peran seharusnya kan? Kamu jadi guru idealis kan? Sebab di eraku sekarang ini, banyak sekali yang berada di jalur yang sama denganku tapi obsesi mereka keliru. Aku khawatir kamu ikut-ikutan menjadi guru yang berangkat ke sekolah hanya untuk mengisi daftar hadir, memerintah siswamu untuk mengerjakan seabrek tugas tak bermakna, atau memaki-maki siswamu yang melakukan kesalahan tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Aku khawatir kamu juga terseret sistem untuk melakukan berbagai kecurangan semacam tim sukses ujian nasional atau ikut-ikutan menyalahgunakan anggaran pendidikan untuk kepentingan pribadi. Ah, sepertinya aku berlebihan. Belum tentu di eramu, sistem pendidikan di negeri ini masih sama kan? Apa di masa depan masih ada UN? Haha... apapun itu. Sungguh aku berharap kamu masih memegang prinsip yang sama kuatnya ketika aku menahan diri untuk tidak mencontek saat ujian. Bukankah kita sudah sepakat sejak dulu bahwa kejujuran selalu penting dalam setiap masa.
Lalu, apa kabar dengan hobi menulismu? Apakah kamu tetap seorang intan yang semangatnya naik turun, bahkan lebih banyak turunnya, dalam hal menulis? Kamu bukan intan yang selalu gagal menyelesaikan rancangan novelnya kan? Atau jangan-jangan di sana, kamu sudah punya novel yang diangkat ke layar lebar? Kamu sudah berkeliling ke berapa kota untuk memenuhi undangan seminar kepenulisan? Ah, saat menulis ini, aku benar-benar ingin menyaksikan kamu sekeren itu. Dan novel seperti apa yang kamu tulis di sana? Apapun itu, semoga tulisanmu punya pengaruh positif untuk pembacamu. Kalau surat ini benar sampai kepadamu, dan kamu benar-benar menjadi seorang penulis, mohon balas dengan melampirkan novel karyamu ya. Sungguh, aku penasaran.
Mm, btw, kamu tinggal di mana sekarang, Tan? di kampungmu? di kota lain? atau justru di negara lain? Bersama siapa? Uhuuk, aku kok jadi salah tingkah bertanya soal ini. haha... Kamu berjodoh dengan siapa pada akhirnya? Apakah dengan seorang korelis yang ambisius itu? Atau dengan si sanguinis yang baik hati? Atau malah dengan orang yang saat ini belum pernah kutemui? Ah, siapa pun dia, apakah kamu berhasil membuatnya merasa beruntung mendapatkan kita yang tidak pernah pacaran? Ehiya, setelah hari ini, kamu tetap istiqomah pada prinsip penjagaan itu kan? Dia yang mendampingimu di sana benar-benar yang pertama kan? Ah, aku bisa gila menebak-nebak sebuah nama yang mungkin di sana tengah membaca surat ini bersamamu. Dan bagaimana dengan generasi penerus kita? kamu sudah punya anak berapa? Seberapa menggemaskan rasanya mendidik anak? Kamu bisa menerapkan ilmu empat tahunku di fakultas ini untuk mendidik anakmu. Jangan lupa untuk mengajarinya apa yang menjadi keyakinanmu. Ajari mereka agama yang benar. Jangan sampai menjadi seorang muslim yang gampang mengkafir-kafirkan saudaranya. Tan, ajari mereka islam sebagai agama kasih sayang. Perkenalkan mereka dengan sosok rasulullah untuk mengerti bagaimana cerminan hati yang bersih. aduh, aku jadi malu sendiri membayangkan jawabanmu tentang ini.
Tan, juga hatimu apa kabar? Sudahkah berhasil berdamai dengan takdir yang sampai hari ini masih suka menyesakkan hatiku tiap kali mengingatnya? Aku berharap kamu di sana sudah menjelma menjadi manusia pemaaf yang tidak perlu terbebani benci dan dendam barang secuil. Sebab tak enak membenci seseorang yang seharusnya kita sayang. Lebih-lebih pada ia yang punya ikatan darah. Kamu sudah bisa bercakap panjang lebar dengannya belum? Sebab hari ini, lidahku tetap saja kelu untuk ngobrol basa-basi dengannya. Ada sembilu yang menghujam ke batinku tiap kali menatap matanya yang sendu. Tan, berdamailah jika kamu tak ingin ikut merasakan sakit yang sama denganku hari ini. Faktanya, ia menjadi pelajaran untuk kamu agar lebih selektif dalam memilih dan berprinsip saat mengambil peran. Aku menyayanginya sebagai takdir, Tan. Sekaligus menyesalinya, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku mau kamu memaafkan dan ikhlas, Tan. Sesak itu tak enak. Aku sedang berusaha berdamai sekarang. Semoga kamu di sana sudah sempurna memaafkan.
Tan, ekspektasiku terhadapmu selalu jauh lebih baik dari apapun. Apapun yang kulakukan sekarang, selain bermotif ke Tuhan, juga demi kelayakan hidupmu di sana. Kamu tidak perlu khawatir pada ketidakpedulianku terhadapmu. Aku menyusun langkah per langkahnya hanya demi mendapatimu baik-baik saja dan sangat baik di masa depan sana. Kamu bisa mengingat-ingatku sebagai masa lalu untuk tidak tertarik pada hidup yang serba kekurangan. Kamu juga bisa mengingatku untuk tidak tertarik meneruskan dendam. Kamu harus sekeren bayanganku sekarang, Tan.
Dear, future intan...
Aku hanya berharap balasan surat ini berisi cerita-cerita tentang kebaikan hidupmu sebagai masa depanku. Aku akan menjaga langkah dan doaku agar kamu tak bingung memilih cerita baik sebagai balasannya. Semoga kamu bahagia, Tan.
Yang selalu berharap kebaikanmu,
intan (versi sekarang)
*****
Baca tulisan sebelumnya ya : http://tulisanintan.blogspot.co.id/2017/06/sebab-aku.html
#writingchallenge
#day7
#7daysKF
Komentar
Posting Komentar