Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Diksi Lain Tentang Tragedi Jelang Reformasi

Judul               : Hari Anjing-Anjing Menghilang Penulis             : Umar Affiq, dkk. Penerbit           : Diva Press Tebal               : 312 halaman Cetakan Ke-    : I, Mei 2017 ISBN               : 978-602-391-406-7 Tia Setiadi dalam pengantar buku ini berkata: “Ada satu hal yang tak diudar oleh tayangan televisi, tak terjamah laporan jurnalistik, tak teranalisis oleh para pakar, yakni makna. Itulah tugas sastrawan: dalam pusaran katastropi dan gebalau tragedy, dia mesti menyelam dan menukik ke kedalaman, atau meluncur dan terbang ke ketinggian demi meraih makna, sesuatu yang tak terkatakan dan berdiam di wilayah yang belum terpetakan”. Barangkali, riwayat pendidikan yang kita tempuh sudah membuat kita hapal bahkan bosan pada sejarah Mei 1998, yang dijelaskan berulang-ulang oleh guru di depan kelas, diputar dalam film-film dokumenter, ditulis dalam buku-buku pelajaran sejarah ataupun artikel media massa maupun online . Barangkali, peristiwa

((Review)) Critical Eleven

Seberapa lucu takdir menurutmu, sehingga terkadang kamu  merasa perlu tertawa atas keberadaan orang-orang di sisimu –yang disebabkan olehnya– sekarang ? Atau seberapa sering kamu berjumpa dengan seseorang secara tak sengaja, lalu ternyata di kemudian hari ia menjadi orang terpenting dalam hidupmu? Seberapa klise menurutmu kisah cinta yang berawal dari istilah meet cute dalam rumusan dasar romantic comedy Hollywood, yakni ketika tokoh utama perempuan dan tokoh utama laki-laki bertemu tidak sengaja di satu kejadian, untuk diangkat sebagai pondasi cerita dalam sebuah novel? Klise? Membosankan? Mudah ditebak? Nanti dulu komentarnya. Melalui Critical Eleven, izinkan seorang Ika Natassa membuatmu tetap betah mengikuti ceritanya meski ia membangun cerita dari peristiwa se-klise meet cute itu. **** SINOPSIS Tanya Baskoro,  atau Anya, seorang wanita berusia 28 tahun, berprofesi sebagai management consultant di Jakarta, biasa terbang ke berbagai kota dan negara untuk menemui kli

Dear, Future Intan

Tema terakhir #7daysKF: Surat untuk diriku di masa depan. Kyaaaa, seandainya benar surat ini bisa melakukan time travel , sudah kupastikan aku tak perlu bertanya penasaran setiap pagi pada diriku sendiri di depan cermin tentang 'akan jadi seperti apa aku di masa depan?'. Seandainya mungkin, pasti seru sekali bisa mengobrol dengan diri sendiri yang terpisah oleh dimensi waktu. Hmmm...  Entah mustahil atau mungkin, biar kutulis saja dulu list pertanyaan untuk diriku di masa depan. **** Bandar Lampung, 17 juni 2017 Dear, future intan... Aku menulis surat ini saat sedang gamang dengan skripsiku yang nggak kelar-kelar, sementara, satu persatu teman-teman seangkatanku mulai sidang. Kalau bukan karena memikirkanmu di masa depan, aku ingin menyerah saja. Tapi, aku tak mau merusak hidupmu. Kalau aku menyerah hari ini, mudah sekali menebak kabarmu di sana saat kau membaca  ini. Tentu kau sedang menyesali diriku sebagai masa lalumu yang begitu lemah denga

Sebab Aku....

Ini sudah hari ke enam #7daysKF. Tema hari ini adalah alasan kepantasan diri untuk mendapatkan jodoh terbaik. hmmmm..... Let me think a few minutes... Kenapa tema kali ini terkesan mendorong penulisnya untuk promosi diri ya? haha Tidak, tidak. Itu hanya pikiran negatifku yang sekaligus minder menyebut diri pantas mendapatkan jodoh terbaik. Tentang sebuah ayat yang menyebutkan bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, aku meyakininya sebagai sebuah anjuran. Bahwasanya sebagai seorang perempuan yang berharap berjodoh dengan laki-laki baik, sudah seharusnya aku menjaga diriku untuk selalu dalam kebaikan. Sebab perihal jodoh, memang tak jauh-jauh dari soal kepantasan atau kesepadanan. Jadi, ketika ditanya kenapa aku pantas mendapatkan jodoh terbaik, ini jawabanku... Pertama, selama ini aku senantiasa menjaga diri  dari hubungan spesial dengan lawan jenis (read: pacaran). Selain karena aku meyakininya sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan dalam agamaku, aku juga be

Doodle Wisuda Rahma

Selamat Wisuda Rahmawati, S.Pd. Terima kasih sudah menjadi karibku, terima kasih sudah membersamaiku sejak pertama kali masuk kuliah. aku nggak tahu harus bahagia atau sedih dengan diwisudanya kamu. Tapi selalu kudoakan kamu dari jauh. 

Mari Bertemu Satu Kali (Lagi)

Tantangan hari kelima: Siapa yang sedang ingin kamu temui dalam waktu dekat? Gaess, ini momen ramadan, jawaban atas pertanyaan sejenis tema hari ini, bagi seorang perantau sepertiku, tidak lain adalah keluarga dan kampung halaman. Right? Iyalah, siapa pula yang tidak rindu tempat pulang ternyaman sejagad raya itu. Biar kuceritakan, bagaimana kerinduan itu menjadi semakin tidak terkontrol tiap ramadan sudah mendekati akhir. Aku lahir di sebuah rumah yang di dalamnya dihuni sepuluh anggota keluarga: Ayah, ibu, aku, seorang kakak perempuan, empat kakak laki-laki, dan dua adik perempuan. Kalian bisa membayangkan, setelah sepanjang masa kecil dan remajaku dihabiskan di rumah seramai itu, tiba-tiba harus tinggal di kamar kos seorang diri dengan ukuran kamar tak lebih dari 16 meter persegi, bagaimana mungkin aku tak rindu? Kebiasaan bertengkar dan tertawa bersama keluarga yang kemudian fungsinya digantikan empat sisi tembok kosan dan setumpuk buku perkuliahan, kalian kira rindu menjadi s

Apa yang Memalukan bagi Gadis Pemalu?

Selamat malam, selamat membaca tulisan ke empat di hari ke lima. (nyengir innocent, sambil minta maaf ke momon) Tema hari ini tentang peristiwa memalukan di masa lalu yang seharusnya tidak pernah dilakukan. hmmm.... Sebenarnya agak riskan bertanya tentang apa yang memalukan kepada seorang gadis pemalu.  Yeah, bagaimanapun, label sebagai pemalu diberikan kepada seseorang karena nyaris semua hal enggan dilakukan orang tersebut karena ia malu. Dan gaees, kalian harus percaya bahwa aku pemalu. (pasang cadar, eaa) So, terus terang saat diberi tema ini, aku rada bingung memilih bagian mana dalam hidupku yang memalukan. Bukan karena nyaris tak ada, tapi karena terlalu banyak hal memalukan dalam hidupku. wkwkwk.. candaaa... Baiklah, sudah kuputuskan  untuk memilih satu dari sekian peristiwa memalukan yang pernah kualami. peristiwa yang paling dari yang ter-paling-memalukan seumur hidupku.  Cerita ini berlangsung di zaman putih biru. Kalau pakai istilah sekarang, ini zaman m

Sebesar.... Aku Pernah Merasa Punya

Hari ketiga writing challenge #KampusFiksi dan #basabasistore... Aku sengaja menulisnya sedikit mepet deadline. Tema hari ketiga cenderung baper. Butuh suasana hening nan syahdu untuk membuka luka-luka lama yang sudah berusaha dikubur oleh waktu dan rutinitas. Dan mendekati tengah malam adalah saat yang tepat, menurutku. Seberapa besar kamu pernah kehilangan seseorang? Pertanyaan ini jlebb banget. Sekali terbaca, sukses membuat sesak seonggok daging dalam raga yang sensitif dengan kata kehilangan.  Kau pernah dengar kalimat ini: "Seseorang yang paling kau cintai, punya potensi paling besar untuk melukaimu dalam-dalam" Belum ya? Jangan-jangan itu hanya sebaris kalimat yang lahir dari pengalamanku sendiri. Hahaha. Gaess, cinta yang kumaksud dalam tulisan ini lebih universal sifatnya jika hanya kau taksir sebagai cinta seorang pacar. Aku jomblo kok. Maka aku tak punya kewajiban untuk merasa kehilangan seorang kekasih. wkwkwkwk Tapi izinkan aku sedikit s

Meski Ingin, Tetap Saja Tak Mungkin

Hari ini, hari kedua Writing Challenge -nya Kampus Fiksi. Aku ingin jujur sama kalian, kalau tema kedua ini sempat bikin aku tak mau ikut #7DaysKF. Alasannya sederhana: aku tidak suka binatang. Tapi alangkah lemahnya diriku jika harus batal menulis hanya karena aku tidak mungkin melakukannya dalam dunia nyata. Hey, bukankah sesekali, menulis juga butuh imajinasi? Dan dalam imajinasi, bukankah kita bebas melakukan apapun tanpa perlu terkungkung ketidakmungkinan? Tanpa imajinasi, mana mungkin cerita Harry Potter, Narnia, Doraemon, dan segenap cerita ngayal itu bertebaran di muka bumi, bahkan digandrungi berjuta umat manusia? So, aku tidak mau tergolong manusia lemah yang tidak mampu sedikit menghayal untuk memelihara beberapa jenis binatang. Ohya, kategori rasa tidak sukaku pada binatang juga tak bisa ditafsirkan sebagai kebencian. Aku tidak suka, bukan berarti, ketika melihat binatang aku akan nyinyirin dia, atau bahkan membunuhnya. Tidak. Rasa tidak sukaku tergolong wajar dan tida

Yang Lumrah, (namun) Spesial, (meski) Tidak (begitu) Menarik

Selamat hari minggu, teman-teman. Menjawab tantangan menulis #7daysKF hari pertama, dengan tema yang pas banget untuk dilakukan dalam setiap perjumpaan pertama (tsaah) : perkenalan diri, izinkan aku untuk turut serta menuliskannya. Namaku Intan Puspita Sari. Nama yang lumrah, bukan? Atau bahasa kasarnya pasaran. Ya, aku tidak bisa menyanggah bahwa namaku mungkin tidak seunik atau sespesial itu. Tapi percayalah, apa-apa yang sudah kutempuh selama menjalani hidupku sebagai seorang Intan sampai hari ini, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan seberapa spesial nama pasaran itu buatku sendiri. Apasih.. Haha Aku lahir sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara. Tidak perlu shock mendengar jumlah anggota sebanyak itu di saat pemerintah gencar meneriakkan program keluarga berencana. Katakanlah, keluargaku tidak termasuk yang mengikuti program itu. Well, sebagai anak yang lahir dalam keluarga besar, salah satu keuntungan yang paling aku rasakan adalah bagaimana caraku belajar memaklum

Kompretulation Yunise

Happy Kompre Tri Yuniati, S.E. Ihiiiy ada tambahan 'S.E' di belakang namanya. Panggil YuniSE, boleh? Haha. Barakallah Yun. Semoga urusan-urusan kedepannya semakin dipermudah dan lancar. Semoga menjadi pribadi yang bermanfaat buat siapapun. Aamiin

Doodle Kompre Sarjana Hukum

Congratulation, Adha Arafat Kausar, S.H.!!! (Doodlenya diorder sepupunya. Hihi, thanks for order, Bro!)

Ra itu Siapa?

Tulisan ini kubuat atas dasar pernyataan seorang karib yang tahu betul tentang banyak hal yang pernah kualami sejak SMA. Bahkan setelah persahabatan kami berwujud LDR, tetap saja aku mencarinya ketika ada sebuah cerita yang tak bisa kutelan sendiri. Pada suatu malam, ketika sepasang mata sudah berpisah dari lensa kacamata minusnya, pertanda si empunya hendak nyaman terlelap, ponselku berdering. Aku hendak abai, tapi kenyataannya, aku terganggu. Kuraih ponsel, melihat nama penelepon: K****. Kalau itu orang lain, mungkin tombol reject akan menjadi pilihanku waktu itu. Dengan nada suara yang tak bisa menutupi rasa kantuk, aku menyahut sekenanya. "Bangun duluuu.. aku mau nanya" teriaknya di seberang ponsel. "Hmm, kau tahu rasanya mengantuk seperti apa?" protesku waktu itu. "Aku tadi buka blogmu, dan baca bagian 'surat untuk Ra'. Kayaknya aku tahu itu siapa..." Entahlah, respon di kepalaku setelah nama itu disebut bikin efek ngantuk langsung s

Yang Terjauh yang Ingin Kutuju: Rumahmu

Tentang sebuah tempat yang ingin aku kunjungi. Katanya, mesti yang terjauh. Hmm, sebelum kusebutkan nama tempatnya, izinkan aku menjelaskan definisi kata jauh dalam presepsiku. kata jauh, jika sudut pandangnya tak sesempit jarak fisik, seharusnya tidak hanya tentang sebuah tempat yang berada ribuan bahkan milyaran kilometer dari posisiku berdiri kan? Satu senti pun jaraknya, bisa saja aku menyebutnya tempat terjauh. Maaf, kacamataku memang sedikit berbeda. Lalu? Hfft, Baiklah, rupanya kau tak sabaran. Langsung saja akan kusebutkan tempatnya, lalu semoga kau paham maksudku. Jangan terkejut, karena tempat terjauh itu adalah rumahmu. Iya, kamu! Aku tahu, jika dihitung menggunakan speedometer di motor sebagai akses menuju rumahmu, tak akan menggulirkan angkanya sampai 50 kilometer. Ke rumahmu mungkin hanya membutuhkan lima belas sampai  duapuluh menit sebagai waktu tempuh. Itupun jika terjebak macet di lampu merah kota pada waktu sibuk. Seharusnya bisa lebih cepat. Hei, kondisi

Putra dan seragam putih merah

Kampung halaman memang selalu menawarkan kedamaian. Terkhusus ketika pagi. Aku senang menghirup udaranya dalam-dalam. Jauh dari polusi seperti di kota tempatku merantau. Juga, karena banyak hal yang bisa dikenang bersama aroma kenanga di pekarangan rumah dan seliweran bumbu masakan ibu yang sudah ke mana-mana sejak aku terjaga. Sudah hampir jam enam pagi. Aku membuka pintu warung sebagai tanda siapapun sudah bisa berbelanja di rumahku. Karena masih belum ada pelanggan, aku memutuskan untuk menyapu halaman. Membersihkan daun-daun dari pohon mangga yang berjatuhan. Ritual semacam ini, hanya bisa terjadi saat sedang berlibur di rumah. Maklumlah, saat di rantau, aku lebih suka menarik selimut untuk menutup seluruh tubuh ketimbang melawan dinginnya pagi. Sebab memang tak ada yang menjadi kesibukan di pagi hari kecuali jam kuliah dimulai jam setengah delapan. Satu dua pelanggan yang datang membuatku sesekali menunda aktivitas menyapu. Sekitar jam tujuh, saat halaman rumah sudah serat

Dua Tahun (Lagi)

Aku sempurna duduk di sampingmu. Dengan segala gemuruh rindu yang berusaha kukontrol ditambah pula rasa deg-degan ketika berjarak tak lebih dari satu meter denganmu, pada detik itu, bernapas bukan perkara sederhana untuk kulakukan. Aku berusaha sekuat tenaga agar embusan napas yang keluar tak mengindikasikan kegugupanku. Oh man, sudah enam tahun, rasanya masih saja segrogi ini di hadapanmu! 

Ketuk Pintu

sumber gambar :  http://berlinhappens.com/10-desain-ruang-rahasia-unik-yang…/ Sekat yang membatasi ruang antarkita, sesungguhnya tak mutlak sebuah dinding saja. Kalau kau sudi mengamatinya dengan seksama, niscaya akan kau temukan sebuah pintu. Disanalah harapan-harapan itu kuletakkan. Kau harus tahu, sebuah batas kubangun setinggi-tingginya tak berarti aku ingin ditinggalkan sepenuhnya. Aku hanya merasa kita butuh ruang untuk menjadi masing-masing. Mengurai kata kita sebagai aku saja, atau kamu saja. Agar setidaknya kita bisa berdialog dengan nurani ma sing-masing bertanya perihal Siapa yang salah? Siapa yang pantas marah? Siapa yang pantas kecewa?

Surat untuk Ra

sumber gambar : http://ukhtisamira.blogspot.co.id/ Selamat malam, Ra! Mungkin tulisan ini adalah sebuah kesia-siaan. Ditulis tanpa kejelasan tujuan dan waktu untuk disebut sebagai surat. Tapi aku perlu menulisnya dan membiarkan takdir yang membuatnya sampai kepadamu atau tidak. Juga membiarkan takdir sudi membuatmu mau membalasnya atau tidak. Ra, seharusnya ini kuucapkan enam tahun lalu.

Sana, Pergi yang Jauh (2)

Aku tahu, ambisimu lebih jauh dari jarak sumsel-lampung saja. Mimpimu lebih luas dari daratan sumatera, bahkan Indonesia. Aku tahu... Kamu ingin menjejak lebih jauh dari sekadar negeri tetangga. Kamu ingin berbahasa yang lebih berbeda dari bahasa melayu yang masih serupa bahasa Indonesia Dan tempat ini, tidak ada dalam list mimpimu.  Aku tahu,

Anti Teh

Siapapun tahu jenis minuman yang biasa disebut Teh. Balita sampai kakek nenek, takkan butuh kamus besar sekadar mendeskripsikan apa Itu teh. Semudah menyebutkan kata TEH, semudah itu pula menemukannya di rumah-rumah, di warung-warung, di pasar, hingga di kebunnya langsung. Bahkan sekadar untuk mendapatkan teh secara cuma-cuma cukup dengan pura-pura bertamu ke sebuah rumah, niscaya segelas teh akan disuguhkan kepadamu. Perkara lain, si teh ini juga kadang digunakan sebagai teknik marketing bidang  kuliner. Pernah dengar: "makan di sini, gratis teh manis" atau "Apa pun makanannya, minumnya teh botol s*sr*"? Ah, semudah itu. Semudah itu untuk membuat lidahmu berkenalan dengan teh. Mungkin itu juga sebab kenapa aku tidak tertarik sama sekali pada teh. Sesuatu yang mudah sekali diperoleh tanpa perjuangan berdarah-darah kadang menjadi tak menarik lagi. LOL (nggak ada hubungannya).

Sana, Pergi yang Jauh

Sumber gambar : https://kreditgogo.com/img/u/Funny-Money/main-image.552485963.jpg Sana, pergi yang jauuhh. Kejar terus mimpimu. Sibuk saja sama duniamu. Toh yang bikin aku jatuh cinta adalah ambisi-ambisimu, caramu memperjuangkan yang kamu mau, juga caramu komit sama visimu. Cuekmu yang cool, heningmu yang mendamaikan, bicaramu yang bermutu, optimismu yang nggak ketulungan, cara pikirmu yang nggak lazim, kinerja tangan dan otakmu yang multifungsi menghasilkan sesuatu, bahkan autismu sama hobimu, itu selalu spesial. Tanpa itu, duniamu tak akan semenarik itu  untuk kucari tahu. sungguh menyenangkan bisa menyelami mimpimu dari kejauhan. Ah kamu benar-benar laut yang tenang di permukaan, tapi